Selasa, 27 Januari 2009

50 kontainer tekstil selundupan disembunyikan di Priok




JAKARTA (Pos Kota) – Setelah petugas Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KPPP) Tanjung Priok menahan satu kontainer TEXU:5438204 berisikan tekstil dan elektronik, diperkirakan masih sekitar 50 kontainer barang serupa berada di lingkungan Terminal Petikemas Priok.

Puluhan kontainer barang ilegal yang diimpor oleh PT LM yang diduga masih berada di di Priok antara lain bernomor ADNU 2412837, FSTU 4615759 dan ADNU 4427486. Menurut petugas dalam manifest atau dokumen disebutkan sebagai hair ornamen atau aksesoris rambut.

Kasat Reskrim Polres KP3, AKP Ikbal mengaku masih memproses satu kontainer yang ditangkap beberapa waktu lalu. Mengenai kemungkinan ada kontainer lainnya bisa saja, namun dirinya belum menerima informasi.

Sumber di Pelabuhan Tanjung Priok menyebutkan rencananya 50 kontainer tersebut sudah keluar sejak sebulan lalu, namun karena petugas Polres KPPP (Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan) Tanjung Priok telah menangkap lebih dulu satu kontainer, pemiliknya batal mengeluarkan yang lainnya.

Saat penangkapan beberapa waktu lalu, PT LM importir jalur merah ini sempat diperiksa oleh oknum petugas pemeriksa Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tanjung Priok dan hasilnya 90 persen barang bersalah diketahui isinya tekstil dan elektronik, padahal dokumen disebutkan aksesoris rambut.

Namun oleh oknum pemeriksa BC saat itu diizinkan keluar sampai akhirnya barang tersebut ditangkap kembali oleh Polres KPPP.

Direktur Pencegahan dan Penyidikan (P2) Ditjen Bea dan Cukai Yusuf Indarto berjanji akan menyelidiki adanya kemungkinan puluhan kontener lainnya berisikan tekstil dan elektronik tersebut yang dalam dokumennya disebutkan aksesoris rambut.

(dwi/nk/B)

Kamis, 15 Januari 2009

Bisakah pungli di Priok hilang

Sulit Memangkas Pungli di Tanjung Priok

BANYAK cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui atau melihat langsung praktik pungutan liar (pungli) di Indonesia. Di antara banyak jalan itu, salah satu di antaranya ialah Pelabuhan Tanjung Priok. Korupsi atau pungutan liar kecil-kecilan di sini, kasat mata. Anda tidak perlu bersusah-susah menyelidiki, sebab pungutan itu tampak di mana-mana, termasuk di jalan-jalan pelabuhan terbesar di Indonesia ini.

DENGARLAH misalnya, penuturan Santoso, eksekutif di sebuah perusahaan bongkar muat. Untuk sandar di Priok seorang nakhoda setidaknya mesti mengeluarkan uang pelicin sebesar 100 sampai 200 dollar AS. "Ini menyebabkan setiap nakhoda kapal berbendera asing yang baru pertama kali masuk ke Tanjung Priok selalu terkejut. Uang sebesar itu sebetulnya tidaklah besar, tetapi masalahnya bukan besar kecilnya, melainkan ini tindakan ilegal," kata Santoso di Jakarta, pekan lalu.

Jika tidak mau menyelipkan uang semir itu, papar Santoso, sulit mengharapkan kapal itu mudah bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal seperti yang sudah mereka jadwalkan untuk perjalanan kapal tersebut jauh hari sebelumnya.

"Jadi, daripada harus lego jangkar lagi di luar selama satu dua hari, lebih baik memahami praktik uang semir itu. Ini bukan berarti saya menghalalkan apa yang berkaitan dengan uang semir, tetapi saya melihat masalah dalam perspektif bisnis. Lego jangkar di luar, juga membutuhkan anggaran lumayan besar," ungkap Santoso.

Alex Langkahi, usahawan perkapalan lainnya, setuju dengan pandangan Santoso. Masalahnya, para pengusaha harus memenuhi jadwal yang telah dibuat, sehingga akhirnya "uang pelicin" tersebut harus mereka penuhi.

"Sebab kalau tidak barang ekspor-impor yang mereka bawa tidak akan tiba di tempat tujuan sesuai jadwal yang sudah disetujui dengan eksportir maupun importirnya yang menggunakan jasa perusahaan mereka," ucap Alex. Uang pelicin itu sendiri kemudian akan diberikan kepada petugas yang terkait dengan proses sandarnya kapal timpal Sulaiman dari perusahaan bongkar muat lainnya. Mulai dari oknum PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Pandu Laut, petugas kapal tunda sampai pada mandor dan petugas angkutan bongkar muat.

"Karena pelabuhan merupakan salah satu bentuk dari wajah suatu negara, maka dengan mudah pihak asing dapat menilai Indonesia. Itu sebabnya, kalau Indonesia disebut paling korup di dunia, ya terpaksa kita harus akui," ucap Alex. Lama kelamaan, para awak kapal asing itu juga akan semakin terbiasa dengan iklim seperti ini. "Jadi, kalau kapal mereka mau masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok, tanpa diminta pun mereka pasti akan menyiapkan dana tersebut. Sebab mereka tidak mau jadwal perjalanan mereka rusak hanya karena uang 100 atau 200 dollar di Tanjung Priok." tambah Santoso

SJARIFUDDIN Mallarangan, Direktur PT Pelayaran Prima Vista menyebutkan, sebenarnya kasus tersebut bukan terjadi pada kapal berbendera asing saja. Maskapai pelayaran nasional pun selama ini mengalami hal yang sama. "Ini sempat saya sampaikan dalam pertemuan antara para Direktur PT (Persero) Pelindo I sampai IV yang mengikutsertakan Indonesian National Ship-owner Association (INSA -Persatuan Pelayaran Niaga Indonesia) di Yogyakarta, belum lama ini," ujar Sjarifuddin.

Karena untuk kapal milik perusahaan pelayaran nasional sendiri tetap saja ada biaya "wajib" yang harus diberikan kepada kepanduan atau kapal tunda setelah menggunakan jasanya. "Sebenarnya, pemanfaatan jasa kepanduan dan kapal tunda itu untuk keselamatan pelayaran. Belakangan ini, biaya yang harus dilepaskan untuk mendapatkan jasa tersebut sudah mencapai jutaan rupiah. Tergantung pada bobot mati (GRT) kapal tersebut. "Saya sudah mengingatkan kepada para Direktur PT (Persero) Pelindo agar hal itu dipikirkan lagi," ujar Sjarifuddin.

"Sebab kalau tidak, hal itu bukan hanya mempersulit anggota INSA saja, tetapi ekonomi nasional yang saat ini masih tertatih-tatih pun tidak akan pernah tumbuh dengan baik hanya karena, kapal-kapal pelayaran nasional harus menanggung beban yang terlalu tinggi," tambah Direktur PT Pelayaran Prima Vista itu. "Hal yang menyedihkan lagi, kerap biaya itu harus dikeluarkan perusahaan pelayaran nasional walau pun mereka tidak menggunakan jasa kepanduan dan jasa tunda. Padahal kita tahu, dalam dunia bisnis ada ungkapan no work no pay. Tetapi dalam hal layanan kepanduan dan jasa tunda, malah sebaliknya. Kita harus mengeluarkan uang tanpa mendapatkan jasa apa pun," lanjut Sjarifuddin. Menurut Sjarifuddin, yang diungkapkan kepada para Direktur PT (Persero) Pelindo, hal ini sudah mendapat perhatian. Para pelaksana di lapangan sudah berjanji memperhatikan dan menyelesaikan hal tersebut. Kalau janji itu tidak dipenuhi, percuma saja.

Sudah terbukti bahwa meski pemasukan PT (Persero) Pelindo sampai milyaran rupiah ternyata hanya kantornya saja yang dibangun megah. Tidak pernah ada penambahan pelabuhan baru. "Semua yang ada saat ini kan sudah dibangun Belanda sejak dulu," tutur Susanto. Pendapatan milyaran tadi juga tidak mampu memusnahkan budaya pungli yang ada, tetapi justru semakin berkembang dan mendarah-daging. "Akibatnya kita semua sudah tahu, Pelabuhan Tanjung Priok ini merupakan salah satu titik penyebab ekonomi biaya tinggi negara Indonesia", katanya

PUNGLI lainnya yang juga membuat ekonomi biaya tinggi terjadi pada saat eksportir/ importir akan menyelesaikan urusan Terminal Handling Charge (THC) yang biasa dipungut pihak pelayaran sebesar 150 dollar AS untuk setiap peti kemas berukuran 20 feet. Padahal yang kemudian disetorkan kepada PT (Persero) Pelindo II hanya 93,10 dollar AS saja. "Tentu selisih 50 dollar AS lebih, menimbulkan pertanyaan. Apakah kelebihan itu untuk jasa perusahaan pelayaran yang menguruskan atau untuk pos lainnya," ucap Susanto.

"Oleh karena itu, kelebihan tersebut diduga akan dipergunakan perusahaan pelayaran bersangkutan sebagai 'uang pelicin' kepada sejumlah oknum yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok," tambahnya. Tentu oknum yang terkait bisa datang dari beberapa instansi yang mengurus masuk-keluarnya barang yang akan diekspor maupun yang akan diimpor. "Diantaranya yang main pungli adalah oknum Bea Cukai," jelas Susanto. Bambang Suripto, importir yang berkedudukan di Jakarta mengungkapkan, selain selisih biaya THC yang tidak pernah jelas alirannya hingga saat ini, masalah di Pelabuhan Tanjung Priok bukan hanya praktik pungli seperti itu. Tetapi, masalah biaya bongkar muat di pelabuhan itu terkesan tidak efisien. Hal tersebut bisa terlihat dari selisih biaya bongkar muat yang berlaku bila dibandingkan hasil bongkar muat yang diperoleh. Biaya bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok untuk satu peti kemas berukuran 20 feet biayanya 93,10 dollar AS. Sementara, kemampuan bongkar muat di Tanjung Priok itu hanya 18 sampai 20 peti kemas per jamnya.

Hal tersebut, menurut Bambang Suripto, memperlihatkan betapa tidak efisiennya Pelabuhan Tanjung Priok bila dibandingkan dengan pelabuhan lain, yang ada di negara Asia Tenggara.

Sekadar bahan perbandingan, di Port Klang, Malaysia, biaya bongkar muat peti kemas 20 feet 50 dollar AS. Sementara produktivitas per jamnya, bisa mencapai 56 peti kemas. Kondisi yang lebih baik terlihat pada Pelabuhan Laem Chanang, Thailand, di mana biaya bongkar muat untuk peti kemas 20 feet itu hanya 29,30 dollar AS, tetapi hasil bongkar muatnya sudah mencapai 75 peti kemas per jam.

KETIDAKEFISIENAN pekerjaan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok tampak pula ketika eksportir atau impotir ingin mengeluarkan atau memasukkan peti kemas. Mereka secara tidak langsung dipaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500.000. Uang tersebut biasanya diberikan kepada mandor bongkar muat sampai kepada pengemudi forklif. "Kalau hal tersebut tidak dilakukan, jangan kaget kalau peti kemas yang akan di keluarkan atau di masukan ke Tanjung Priok akan lama disentuh bahkan sama sekali tidak disentuh," kata Bambang Suripto.

Bahkan, tambah eksportir lainnya, Sutoyo, ketika akan mengeluarkan atau memasukkan peti kemas para eksportir atau importir, harus berurusan lagi dengan "orang-orang" Bea Cukai. "Biasanya untuk memperlancar proses keluar atau masuknya peti kemas bersangkutan eksportir atau importir harus memberikan Rp 150.000 sampai Rp 250.000 per orangnya." Oleh karena itu, Pelabuhan Tanjung Priok hanya mampu melakukan bongkar muat sebanyak 18 sampai 20 peti kemas saja per jamnya. Sementara, di Pelabuhan Port Klang, Malaysia, sudah bisa mencapai 56 peti kemas per jam.

Ini bukti betapa efisiennya pelabuhan negara jiran tersebut. "Apalagi, bila dibandingkan dengan Singapura yang biaya bongkar muatnya sebesar 88,20 dollar AS untuk peti kemas berukuran 20 feet. Namun, kecepatan bongkar muatnya mencapai 82 peti kemas per jamnya," tambah Bambang. Menurut seorang pengusaha yang biasa hilir mudik di Pelabuhan Tanjung Priok, untuk setiap dokumen ekspor atau impor, ia harus memberikan 30 dollar AS kepada perusahaan pelayaran. Itu pun bila satu peti kemas hanya berisikan satu jenis barang saja. Tetapi kalau satu peti kemas itu isinya sampai sepuluh item, "Berarti untuk satu peti kemas itu saja, saya harus membayar 300 dollar AS," tambah Bambang. Suasana di lapangan tidak berbeda jauh dengan suasana di kantor. Cuma bedanya mungkin pungli-nya yang sedikit lebih kecil di kantor. Untuk mengurus satu lembar dokumen impor atau dokumen ekspor di Bea Cukai, kembali eksportir atau importir harus mengeluarkan "uang pelicin" untuk setiap meja yang harus dilalui. "Biasa untuk setiap meja itu eksportirnya harus mengeluarkan Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Kalau meja yang harus dilalui itu ada lima, ya habis Rp 100.000 untuk satu dokumen saja," ujar Bambang. Itu baru untuk satu dokumen pada hal sehari itu Bea Cukai bisa menangani puluhan sampai ratusan dokumen impor maupun dokumen ekspor. Kalau sehari ada 10 dokumen yang mereka tangani, berarti setiap oknum Bea Cukai bisa mengantongi Rp 100.000 sehari.

"Dalam satu bulan saja oknum tersebut sudah bisa mengantongi Rp 2,4 juta. Tentu jumlah itu sudah setara dengan gaji seorang pegawai di perusahaan swasta," kata Jarwo importir lainnya yang mencoba menghitung pungli yang diterima seorang oknum Bea Cukai. Angka-angka biaya ekonomi tinggi tersebut, memperlihatkan bahwa pungli mempunyai kontribusi besar sehingga Pelabuhan Tanjung Priok kurang kompetitif dibandingkan denganbeberapa pelabuhan lainnya di Asia Tenggara.

Selain itu, setiap barang yang masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok akan membuat harga barang yang diimpor meningkat sekitar sepuluh sampai lima belas persen. Ini yang harus ditanggung oleh konsumen. Anton J Supit dari Komite Pemulihan Ekonomi Nasional menyatakan, jika Indonesia ingin bisa bersaing dalam era pasar bebas, seharusnya Departemen Perhubungan membuat regulasi yang dapat memangkas habis pungli yang ada. Meski ini sulit, atau hanya utopia semata, tetapi usaha itu tetap harus dilakukan. Kalau tidak, Pelabuhan Tanjung Priok sulit menjadi pelabuhan pangkalan langsung dari dan ke Eropa di Asia Tenggara. Sulit pula mengharapkan Pelabuhan Tanjung Priok mendorong pertumbuhan ekonomi negara Indonesia. (KORANO NICOLASH LMS)


Terima suap Rp650 juta, 3 oknum Beacukai ditahan

Terima Suap Rp 650 Juta, 3 Oknum Bea Cukai Ditahan


Jakarta - 3 Oknum auditor Bea Cukai ditahan Direktorat Tipikor Mabes Polri. Mereka ditengarai menerima suap senilai Rp 650 juta.

"Mereka resmi kita periksa, kita tangkap, dan kita tahan pada 2 Juni 2008," kata Direktorat Tipikor Mabes Polri Brigjen Pol Yose Rizal di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Selasa (3/6/2008).

Yose menjelaskan modus ketiga tersangka ini yakni Bambang Sutrisno (tim auditor Bea Cukai), Hendry Effendi (tim auditor Bea Cukai), dan Adhi Yulianto (tim auditor Bea Cukai).

Pada Oktober 2003, mereka melakukan audit pada PT Katsushiro Indonesia yang beralamat di Cikarang, Bekasi, terkait impor barang berupa baja untuk periode 1 Januari 2002 - 31 Desember 2003. Mereka didampingi karyawan PT Katsushiro, bernama Wayan Sudiartha, Hamid Astho, Bhakti Wiwoho, dan Ninik Saptorini.

Pada April 2004, tersangka Hendry Effendi memberitahukan melalui telepon kepada karyawan Katsushiro bahwa terjadi kekurangan pembayaran senilai Rp 1,7 miliar.

Nah cerita punya cerita akhirnya terjadilah transaksi untuk mengecilkan nilai temuan kekurangan pembayaran. "Akhirnya tim auditor sepakat untuk memperkecil temuan tersebut dengan meminta imbalan uang," jelas dia.

Dan pada 17 Mei 2004, tim auditor mengirimkan temuan hasil audit yang sudah diubah menjadi Rp 9 juta. "Dan seorang karyawan saudara Budi Setyo Utomo memerintahkan Wayan Sudiarta pada 21 Mei 2004 untuk mencairkan cek sebesar Rp 650 juta dan agar diserahkan ke auditor," jelasnya.

Kini para tersangka ditahan dan tengah menjalani pemeriksaan. "Kita sita fotokopi cek, bukti transfer serta lainnya," tegas dia.

kasus sewa crane Rp 17 miliar di PT JICT dan kasus kelebihan pembayaran kepada pejabat di Pelindo Rp 97 juta.

Kasus lainnya, bon kasir di PT Pelindo Rp 44 juta,

pengadaan dua unit kapal tunda PT Pelindo II sebesar US$ 149,9 ribu, pekerjaan docking kapal tunda di PT Pelindo II Rp 1,244 miliar d

Dugaan Korupsi BUMN
Sewa Crane JICT Rugikan Rp 83 M

Pejabat BC ditahan KPK, 6 lainnya dicekal

JAKARTA -- Lama tak terdengar kabarnya, kasus korupsi di Direktorat Jenderal Bea Cukai mulai kembali diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Senin malam (22/12), KPK menahan tersangka korupsi Bea Cukai, Agus Syafiin Pane. ''Dia ditahan untuk 20 hari ke depan dan kita titipkan di (Lembaga Pemasyarakatan) Cipinang,'' ujar Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Johan Budi.

Johan menerangkan, Agus adalah satu-satunya tersangka dalam kasus dugaan korupsi di tubuh Bea Cukai, Tanjung Priok, Jakarta. Agus ditetapkan sebagai tersangka pada pertengahan bulan Oktober 2008.Agus Syafiin Pane merupakan pejabat pemeriksa dokumen di Bea Cukai dan salah satu pejabat yang masuk dalam daftar enam orang yang dicegah untuk bepergian ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM.

Dalam surat permohonan pencegahan KPK ke Depkumham bernomor KEP 361/01/10/2008 tertanggal 10 Oktober 2008, KPK juga memasukkan nama Natigor Pangapul Manalu, Piyossi, Eddy Iman Santoso, Pangihutan Manahara Uli Marpaung, dan Hilda Sumandi sebagai orang yang dicegah bepergian ke luar negeri.Nama terakhir adalah seorang ahli pabean dari PT Gemilang Ekspprindo, sedangkan lima lainnya adalah rekan Agus Syafiin Pane yang juga pejabat pemeriksa dokumen di kantor Bea Cukai Tanjung Priok.

Johan Budi menegaskan, sejauh ini KPK baru menetapkan satu orang tersangka. ''Bisa saja ada tersangka lain, tergantung pengembangan penyidikan,'' imbuh Johan.Terhadap Agus Syafiin Pane, lanjut Johan, penyidik menjeratnya dengan menggunakan pasal-pasal penerimaan gratifikasi. ''Pasalnya, Pasal 11 dan Pasal 12 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), dugaan penerimaan uang Rp 105 juta yang berkaitan dengan tugas dan jabatannya,'' papar Johan.

Kasus ini sempat mendapat perhatian masyarakat ketika KPK menemukan uang ratusan juta rupiah di meja-meja pelayanan bea cukai dalam inspeksi mendadak (sidak) di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta Utara.Sidak tersebut dilakukan oleh tim gabungan KPK dan tim kepatuhan internal Ditjen Bea Cukai. Sedikitnya 50 orang anggota tim gabungan menggelar sidak di setiap meja kerja di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Priok tersebut. Ke-50 orang itu terbagi dalam dua tim. Masing-masing tim memeriksa jalur impor bagi importir yang hanya memerlukan pemeriksaan dokumen (jalur hijau) dan jalur impor bagi importir yang memerlukan pemeriksaan dokumen dan fisik barang (jalur merah).

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, M Jasin, yang juga turut dalam sidak itu mengatakan, tim gabungan berhasil menemukan sejumlah amplop berisi uang di beberapa meja kerja. Uang yang ditemukan itu diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. ''Hasil sementara, ada beberapa amplop dari beberapa perusahaan,'' katanya.

Menurut Jasin, beberapa amplop tertera tulisan jenis dokumen, nama perusahaan, dan peruntukan uang, misalnya 'uang makan'.Jasin memerinci, isi dari amplop-amplop itu bervariasi. Tim gabungan menemukan sejumlah amplop yang berisi uang Rp 4 juta, Rp 5 juta, dan Rp 14 juta. ''Ada juga yang dalam bentuk dolar,'' kata Jasin.Informasi yang diterima oleh Jasin, sedikitnya ditemukan uang Rp 75 juta di jalur hijau dan Rp 100 juta di jalur merah.Selain menemukan uang di dalam amplop, menurut Jasin, tim juga menemukan beberapa lembar bukti transfer. ade/ant

sewa crane JICT salahi prosedur negara rugi Rp83,72 miliar

Jakarta - Kementerian BUMN memperkirakan kerugian negara akibat penyewaan crane atau alat bongkar muat kontainer di PT Jakarta International Container Terminal (JICT) yang menyalahi prosedur sekurang-kurangnya mencapai Rp 83,72 miliar.

"Kasus ini sekarang sudah diserahkan ke Mabes Polri, dan mereka telah melakukan pemanggilan terhadap beberapa saksi kunci," kata sumber di kementerian BUMN.

Perhitungan kerugian negara itu berasal dari pengalihan 49 persen kepemilikan saham Pelindo II di JICT dikalikan dengan pengeluaran yang telah dilakukan oleh JICT sebesar Rp 17,086 miliar.

Disebutkan, awal penyewaan 2 crane kontainer tersebut berawal dari impor 2 crane bekas dengan kualitas sangat buruk oleh PT Ocean Terminal Peti Kemas (OTP). Crane itu kemudian disewakan kepada JICT sebesar US$ 125 ribu per bulan dengan ketentuan PT JICT melakukan sendiri rekondisi yang akan menghabiskan dana Rp 3 miliar per crane.

Karena kondisi crane yang rusak berat, salah satu crane meski telah direkondisi dengan memakan biaya Rp 3 miliar tetap saja tidak dapat digunakan. Sementara satu crane lain setelah direkondisi ternyata hanya memiliki kemampuan penggunaan rata-rata 20 persen.

Penyewaan crane ini jika dibandingkan dengan penyewaan crane oleh PT JICT kepada PT Baruna Adi Prasetya dan PT Pelindo II terlalu mahal. JICT menyewa crane pada PT Baruna Adi Prasetya hanya dengan biaya US$ 60 ribu dan dari PT Pelindo II dengan harga yang hampir sama dengan tingkat kemampuan produksi 100 persen.

Meski kedua crane tergolong rusak berat, ternyata PT JICT tetap membayar biaya sewa yang keseluruhannya mencapai US$ 1,205 juta atau sekitar Rp 17,096 miliar (kurs Rp 9.200 per dolar AS).

Menurut sumber tersebut, penyimpangan yang dilakukan dalam sewa menyewa crane meliputi pembayaran fiktif, penyimpangan prosedur dan pembengkakan harga sewa crane. Saat ini kepemilikan PT JICT adalah PT Pelindo II (49 persen) dan OTP (51 persen).

Kerugian yang terjadi JICT ini merupakan salah satu dari 30 tindak pidana korupsi yang tengah ditelusuri Kementerian BUMN, dengan nilai kerugian negaranya lebih dari Rp 2,63 triliun.

Dari sekian banyak kasus korupsi itu, 2 kasus telah dilimpahkan yakni kasus kredit macet Domba Mas Grup di BRI kepada KPK dan kasus sewa crane container fiktif di PT JICT telah dilimpahkan ke Mabes Polri.

Bisakah pungli di Priok hilang

Sulit Memangkas Pungli di Tanjung Priok

BANYAK cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui atau melihat langsung praktik pungutan liar (pungli) di Indonesia. Di antara banyak jalan itu, salah satu di antaranya ialah Pelabuhan Tanjung Priok. Korupsi atau pungutan liar kecil-kecilan di sini, kasat mata. Anda tidak perlu bersusah-susah menyelidiki, sebab pungutan itu tampak di mana-mana, termasuk di jalan-jalan pelabuhan terbesar di Indonesia ini.

DENGARLAH misalnya, penuturan Santoso, eksekutif di sebuah perusahaan bongkar muat. Untuk sandar di Priok seorang nakhoda setidaknya mesti mengeluarkan uang pelicin sebesar 100 sampai 200 dollar AS. "Ini menyebabkan setiap nakhoda kapal berbendera asing yang baru pertama kali masuk ke Tanjung Priok selalu terkejut. Uang sebesar itu sebetulnya tidaklah besar, tetapi masalahnya bukan besar kecilnya, melainkan ini tindakan ilegal," kata Santoso di Jakarta, pekan lalu.

Jika tidak mau menyelipkan uang semir itu, papar Santoso, sulit mengharapkan kapal itu mudah bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal seperti yang sudah mereka jadwalkan untuk perjalanan kapal tersebut jauh hari sebelumnya.

"Jadi, daripada harus lego jangkar lagi di luar selama satu dua hari, lebih baik memahami praktik uang semir itu. Ini bukan berarti saya menghalalkan apa yang berkaitan dengan uang semir, tetapi saya melihat masalah dalam perspektif bisnis. Lego jangkar di luar, juga membutuhkan anggaran lumayan besar," ungkap Santoso.

Alex Langkahi, usahawan perkapalan lainnya, setuju dengan pandangan Santoso. Masalahnya, para pengusaha harus memenuhi jadwal yang telah dibuat, sehingga akhirnya "uang pelicin" tersebut harus mereka penuhi.

"Sebab kalau tidak barang ekspor-impor yang mereka bawa tidak akan tiba di tempat tujuan sesuai jadwal yang sudah disetujui dengan eksportir maupun importirnya yang menggunakan jasa perusahaan mereka," ucap Alex. Uang pelicin itu sendiri kemudian akan diberikan kepada petugas yang terkait dengan proses sandarnya kapal timpal Sulaiman dari perusahaan bongkar muat lainnya. Mulai dari oknum PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Pandu Laut, petugas kapal tunda sampai pada mandor dan petugas angkutan bongkar muat.

"Karena pelabuhan merupakan salah satu bentuk dari wajah suatu negara, maka dengan mudah pihak asing dapat menilai Indonesia. Itu sebabnya, kalau Indonesia disebut paling korup di dunia, ya terpaksa kita harus akui," ucap Alex. Lama kelamaan, para awak kapal asing itu juga akan semakin terbiasa dengan iklim seperti ini. "Jadi, kalau kapal mereka mau masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok, tanpa diminta pun mereka pasti akan menyiapkan dana tersebut. Sebab mereka tidak mau jadwal perjalanan mereka rusak hanya karena uang 100 atau 200 dollar di Tanjung Priok." tambah Santoso

SJARIFUDDIN Mallarangan, Direktur PT Pelayaran Prima Vista menyebutkan, sebenarnya kasus tersebut bukan terjadi pada kapal berbendera asing saja. Maskapai pelayaran nasional pun selama ini mengalami hal yang sama. "Ini sempat saya sampaikan dalam pertemuan antara para Direktur PT (Persero) Pelindo I sampai IV yang mengikutsertakan Indonesian National Ship-owner Association (INSA -Persatuan Pelayaran Niaga Indonesia) di Yogyakarta, belum lama ini," ujar Sjarifuddin.

Karena untuk kapal milik perusahaan pelayaran nasional sendiri tetap saja ada biaya "wajib" yang harus diberikan kepada kepanduan atau kapal tunda setelah menggunakan jasanya. "Sebenarnya, pemanfaatan jasa kepanduan dan kapal tunda itu untuk keselamatan pelayaran. Belakangan ini, biaya yang harus dilepaskan untuk mendapatkan jasa tersebut sudah mencapai jutaan rupiah. Tergantung pada bobot mati (GRT) kapal tersebut. "Saya sudah mengingatkan kepada para Direktur PT (Persero) Pelindo agar hal itu dipikirkan lagi," ujar Sjarifuddin.

"Sebab kalau tidak, hal itu bukan hanya mempersulit anggota INSA saja, tetapi ekonomi nasional yang saat ini masih tertatih-tatih pun tidak akan pernah tumbuh dengan baik hanya karena, kapal-kapal pelayaran nasional harus menanggung beban yang terlalu tinggi," tambah Direktur PT Pelayaran Prima Vista itu. "Hal yang menyedihkan lagi, kerap biaya itu harus dikeluarkan perusahaan pelayaran nasional walau pun mereka tidak menggunakan jasa kepanduan dan jasa tunda. Padahal kita tahu, dalam dunia bisnis ada ungkapan no work no pay. Tetapi dalam hal layanan kepanduan dan jasa tunda, malah sebaliknya. Kita harus mengeluarkan uang tanpa mendapatkan jasa apa pun," lanjut Sjarifuddin. Menurut Sjarifuddin, yang diungkapkan kepada para Direktur PT (Persero) Pelindo, hal ini sudah mendapat perhatian. Para pelaksana di lapangan sudah berjanji memperhatikan dan menyelesaikan hal tersebut. Kalau janji itu tidak dipenuhi, percuma saja.

Sudah terbukti bahwa meski pemasukan PT (Persero) Pelindo sampai milyaran rupiah ternyata hanya kantornya saja yang dibangun megah. Tidak pernah ada penambahan pelabuhan baru. "Semua yang ada saat ini kan sudah dibangun Belanda sejak dulu," tutur Susanto. Pendapatan milyaran tadi juga tidak mampu memusnahkan budaya pungli yang ada, tetapi justru semakin berkembang dan mendarah-daging. "Akibatnya kita semua sudah tahu, Pelabuhan Tanjung Priok ini merupakan salah satu titik penyebab ekonomi biaya tinggi negara Indonesia", katanya

PUNGLI lainnya yang juga membuat ekonomi biaya tinggi terjadi pada saat eksportir/ importir akan menyelesaikan urusan Terminal Handling Charge (THC) yang biasa dipungut pihak pelayaran sebesar 150 dollar AS untuk setiap peti kemas berukuran 20 feet. Padahal yang kemudian disetorkan kepada PT (Persero) Pelindo II hanya 93,10 dollar AS saja. "Tentu selisih 50 dollar AS lebih, menimbulkan pertanyaan. Apakah kelebihan itu untuk jasa perusahaan pelayaran yang menguruskan atau untuk pos lainnya," ucap Susanto.

"Oleh karena itu, kelebihan tersebut diduga akan dipergunakan perusahaan pelayaran bersangkutan sebagai 'uang pelicin' kepada sejumlah oknum yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok," tambahnya. Tentu oknum yang terkait bisa datang dari beberapa instansi yang mengurus masuk-keluarnya barang yang akan diekspor maupun yang akan diimpor. "Diantaranya yang main pungli adalah oknum Bea Cukai," jelas Susanto. Bambang Suripto, importir yang berkedudukan di Jakarta mengungkapkan, selain selisih biaya THC yang tidak pernah jelas alirannya hingga saat ini, masalah di Pelabuhan Tanjung Priok bukan hanya praktik pungli seperti itu. Tetapi, masalah biaya bongkar muat di pelabuhan itu terkesan tidak efisien. Hal tersebut bisa terlihat dari selisih biaya bongkar muat yang berlaku bila dibandingkan hasil bongkar muat yang diperoleh. Biaya bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok untuk satu peti kemas berukuran 20 feet biayanya 93,10 dollar AS. Sementara, kemampuan bongkar muat di Tanjung Priok itu hanya 18 sampai 20 peti kemas per jamnya.

Hal tersebut, menurut Bambang Suripto, memperlihatkan betapa tidak efisiennya Pelabuhan Tanjung Priok bila dibandingkan dengan pelabuhan lain, yang ada di negara Asia Tenggara.

Sekadar bahan perbandingan, di Port Klang, Malaysia, biaya bongkar muat peti kemas 20 feet 50 dollar AS. Sementara produktivitas per jamnya, bisa mencapai 56 peti kemas. Kondisi yang lebih baik terlihat pada Pelabuhan Laem Chanang, Thailand, di mana biaya bongkar muat untuk peti kemas 20 feet itu hanya 29,30 dollar AS, tetapi hasil bongkar muatnya sudah mencapai 75 peti kemas per jam.

KETIDAKEFISIENAN pekerjaan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok tampak pula ketika eksportir atau impotir ingin mengeluarkan atau memasukkan peti kemas. Mereka secara tidak langsung dipaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500.000. Uang tersebut biasanya diberikan kepada mandor bongkar muat sampai kepada pengemudi forklif. "Kalau hal tersebut tidak dilakukan, jangan kaget kalau peti kemas yang akan di keluarkan atau di masukan ke Tanjung Priok akan lama disentuh bahkan sama sekali tidak disentuh," kata Bambang Suripto.

Bahkan, tambah eksportir lainnya, Sutoyo, ketika akan mengeluarkan atau memasukkan peti kemas para eksportir atau importir, harus berurusan lagi dengan "orang-orang" Bea Cukai. "Biasanya untuk memperlancar proses keluar atau masuknya peti kemas bersangkutan eksportir atau importir harus memberikan Rp 150.000 sampai Rp 250.000 per orangnya." Oleh karena itu, Pelabuhan Tanjung Priok hanya mampu melakukan bongkar muat sebanyak 18 sampai 20 peti kemas saja per jamnya. Sementara, di Pelabuhan Port Klang, Malaysia, sudah bisa mencapai 56 peti kemas per jam. Ini bukti betapa efisiennya pelabuhan negara jiran tersebut. "Apalagi, bila dibandingkan dengan Singapura yang biaya bongkar muatnya sebesar 88,20 dollar AS untuk peti kemas berukuran 20 feet. Namun, kecepatan bongkar muatnya mencapai 82 peti kemas per jamnya," tambah Bambang. Menurut seorang pengusaha yang biasa hilir mudik di Pelabuhan Tanjung Priok, untuk setiap dokumen ekspor atau impor, ia harus memberikan 30 dollar AS kepada perusahaan pelayaran. Itu pun bila satu peti kemas hanya berisikan satu jenis barang saja. Tetapi kalau satu peti kemas itu isinya sampai sepuluh item, "Berarti untuk satu peti kemas itu saja, saya harus membayar 300 dollar AS," tambah Bambang. Suasana di lapangan tidak berbeda jauh dengan suasana di kantor. Cuma bedanya mungkin pungli-nya yang sedikit lebih kecil di kantor. Untuk mengurus satu lembar dokumen impor atau dokumen ekspor di Bea Cukai, kembali eksportir atau importir harus mengeluarkan "uang pelicin" untuk setiap meja yang harus dilalui. "Biasa untuk setiap meja itu eksportirnya harus mengeluarkan Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Kalau meja yang harus dilalui itu ada lima, ya habis Rp 100.000 untuk satu dokumen saja," ujar Bambang. Itu baru untuk satu dokumen pada hal sehari itu Bea Cukai bisa menangani puluhan sampai ratusan dokumen impor maupun dokumen ekspor. Kalau sehari ada 10 dokumen yang mereka tangani, berarti setiap oknum Bea Cukai bisa mengantongi Rp 100.000 sehari.

"Dalam satu bulan saja oknum tersebut sudah bisa mengantongi Rp 2,4 juta. Tentu jumlah itu sudah setara dengan gaji seorang pegawai di perusahaan swasta," kata Jarwo importir lainnya yang mencoba menghitung pungli yang diterima seorang oknum Bea Cukai. Angka-angka biaya ekonomi tinggi tersebut, memperlihatkan bahwa pungli mempunyai kontribusi besar sehingga Pelabuhan Tanjung Priok kurang kompetitif dibandingkan denganbeberapa pelabuhan lainnya di Asia Tenggara.

Selain itu, setiap barang yang masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok akan membuat harga barang yang diimpor meningkat sekitar sepuluh sampai lima belas persen. Ini yang harus ditanggung oleh konsumen. Anton J Supit dari Komite Pemulihan Ekonomi Nasional menyatakan, jika Indonesia ingin bisa bersaing dalam era pasar bebas, seharusnya Departemen Perhubungan membuat regulasi yang dapat memangkas habis pungli yang ada. Meski ini sulit, atau hanya utopia semata, tetapi usaha itu tetap harus dilakukan. Kalau tidak, Pelabuhan Tanjung Priok sulit menjadi pelabuhan pangkalan langsung dari dan ke Eropa di Asia Tenggara. Sulit pula mengharapkan Pelabuhan Tanjung Priok mendorong pertumbuhan ekonomi negara Indonesia. (KORANO NICOLASH LMS)


Selasa, 23 Desember 2008

3.200 PPJK diblokir banyak dimiliki mantan pejabat BC

JAKARTA- Direktorat Jenderal Bea Cukai telah menertibkan 3.200 Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) dulu ekspedisi dari 5.000 PPJK yang terdaftar.


Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi menjelaskan ribuan PPJK yang ditertibkan itu kebanyakan pelakunya adalah mantan pejabat Bea dan Cukai. Sedangkan penertiban instruksi dari Menkeu Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua Tim Pengarah Persiapan NSW (Sistem National Single Window).


"Mereka yang ditertibkan karena tidak transparan terhadap pemilik barang. Misalnya dalam melakukan custom clearance tidak jelas," ujar Dirjen Anwar saat Peluncuran Implementasi Tahap III NSW oleh Menkeu. NSW adalam system komputerisasi (IT) menghilangkan kontak person, semua dokumen lewat IT.


Saat ini jumlah importir yang terdaftar di lima pelabuhan utama (Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, dan Bandara Soetta) tercatat sebanyak 18.737, namun dari jumlah itu yang aktif hanya 4.852 importir.


Rencananya mulai Selasa kemarin (23/12) NSW impor diberlakukan melayani aktivitas impor melalui pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas, sementara di Tanjung Perak, Belawan, dan Bandara Soetta dilakukan secara terbatas untuk importir dan PPJK yaitu sekira 10 persen dari total importir dan PPJK.


Tahun 2008 NSW direncanakan akan bertambah sembilan, sehingga menjadi 14. Namun instansi pemerintah yang baru benar-benar siap melaksanakan hanya tiga yaitu Ditjen Kefarmasian dan Alat kesehatan Depkes, Ditjen Postel Depkominfo, dan Bappeten. (dwi)