Selasa, 23 Desember 2008

3.200 PPJK diblokir banyak dimiliki mantan pejabat BC

JAKARTA- Direktorat Jenderal Bea Cukai telah menertibkan 3.200 Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) dulu ekspedisi dari 5.000 PPJK yang terdaftar.


Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi menjelaskan ribuan PPJK yang ditertibkan itu kebanyakan pelakunya adalah mantan pejabat Bea dan Cukai. Sedangkan penertiban instruksi dari Menkeu Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua Tim Pengarah Persiapan NSW (Sistem National Single Window).


"Mereka yang ditertibkan karena tidak transparan terhadap pemilik barang. Misalnya dalam melakukan custom clearance tidak jelas," ujar Dirjen Anwar saat Peluncuran Implementasi Tahap III NSW oleh Menkeu. NSW adalam system komputerisasi (IT) menghilangkan kontak person, semua dokumen lewat IT.


Saat ini jumlah importir yang terdaftar di lima pelabuhan utama (Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, dan Bandara Soetta) tercatat sebanyak 18.737, namun dari jumlah itu yang aktif hanya 4.852 importir.


Rencananya mulai Selasa kemarin (23/12) NSW impor diberlakukan melayani aktivitas impor melalui pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Emas, sementara di Tanjung Perak, Belawan, dan Bandara Soetta dilakukan secara terbatas untuk importir dan PPJK yaitu sekira 10 persen dari total importir dan PPJK.


Tahun 2008 NSW direncanakan akan bertambah sembilan, sehingga menjadi 14. Namun instansi pemerintah yang baru benar-benar siap melaksanakan hanya tiga yaitu Ditjen Kefarmasian dan Alat kesehatan Depkes, Ditjen Postel Depkominfo, dan Bappeten. (dwi)

Disinyalir dibekingi pengusaha dan oknum BC Menkeu ajak Kadin perangi penyelundupan

JAKARTA: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia untuk membantu pemerintah memerangi praktik mafia penyelundupan di seluruh pelabuhan Indonesia.

Menurut Menkeu, dirinya mensinyalir masih ada pejabat Bea dan Cukai terlibat dan masih menerima upeti dari penyelundup untuk menggolkan barang yang dia impor tanpa dokumen resmi masuk ke Indonesia.


"Kalau Anda ingin tulus membantu saya, tolong sampaikan ke saya siapa-siapa pelaku mafia pelabuhan, bukannya malah kongkalikong. Kecuali kalau Anda anggap saya ini musuh bersama penyelundup, tapi kalian pasti nggak musuhin saya kan?"ujar Sri Mulyani.


Praktek penyelundupan perlu dilakukan untuk mengurangi dan menghentikan produk impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Upaya pengetatan kebijakan pelabuhan oleh Direktorat Bea dan Cukai Departemen Keuangan dirasakan belum maksimal tanpa bantuan pengusaha.


Apalagi katanya, selama ini praktik mafia yang dilakukan oknum pebajat pelabuhan itu ternyata didukung oleh segelintir pengusaha dan oknum BC tertentu.

Gunakan fasilitas KITE mati, 55 kontener selundupan ditahan 14 diantaranya sempat keluar pelabuhan

JAKARTA: Tidak mau kebobolan lagi, petugas Kantor Pelayanan Utama (KPU) Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Priok kini menahan 55 peti kemas berisi impor illegal. Bahkan ada 14 kontener 40 feet sebelumnya sempat sudah keluar dari pelabuhan.

Selain itu dicurigai ada 20 peti kemas lainnya akan masuk ke pelabuhan Indonesia yang kini posisinya masih di Singapura, Jerman, Pakistan, dan Thailand.


Kepala Bidang Pencegahan dan Penyelidikan (P2) KPU Ditjen Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Heru Sulastiyono,, ketika dikonfirmasikan hal tersebut membenarkan penahanan ke- 55 peti kemas itu, bahkan 14 peti kemas di antaranya sudah terbukti illegal karena pelaku penyelundup ini telah memanipulasi dokumen.


Sedangkan sisanya 41 peti kemas impor kini ditahan dan disegel karena masih dalam tahap penyelidikan dan masuk dari NHI (nota hasil intelijen) Ditjen Bea Cukai.


Dari 14 peti kemas yang terbukti mengimpor barang illegal, antara lain terdiri dari tiga peti kemas berisi tekstil dan barang campuran dilakukan oleh importir PT IT dan PT PJ. Selain itu satu peti kemas berisi tekstil, minuman berakohol dan komputer jinjing dilakukan oleh PT ACY.


Dua peti kemas berisi piano oleh PT JS, satu peti kemas berisi komponen kompor dan bentuk jadi oleh PT HII, satu peti kemas minuman berakhohol oleh PT TM, sisa enam peti kemas berisi elektornik dan telepon seluler oleh PT MZ, PT FK dan PT MS.


Mereka dalam menyelundupkan barangnya dengan cara memasukkan barang impor yang merugikan penerimaan negara seperti tekstil, elektronik, garmen, minuman beralkohol dengan menggunakan fasilitas perusahaan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) yang telah mati.


Sedangkan barang-barang tersebut masuk ke Tanjung Priok menggunakan KM. Sinar Sabang dan barang itu kini ditimbun di TPS Mandiri Abadi Lestari Jl. Bitung Tg. Priok. Dalam dokumen barang itu diberitahukan benang polyester.


Ke-14 peti kemas itu disebutkan sudah sempat keluar tapi dikembalikan lagi ke KPU karena informasinya ditangkap oleh P2 pusat.


Kemudian ada lagi sembilan peti kemas sudah masuk pemberitahuan impor barang (PIB)-nya dan ditetapkan pemeriksaan masuk jalur merah. Pelakunya satu importir dengan menggunakan kapal KM. Sinar Sumba tiba pada 10 Desember 2008, dan ditimbun di TPS Mal Jl. Bitung Tg. Priok.


Empat unit peti kemas yang sudah dikembalikan ke TPS Mal itu yang merupakan bagian dari 15 peti kemas. Menurut rencana, pada Jumat malam lalu peti kemas itu akan diekspor lagi ke Singapura, tetapi tidak menggunakan sistem reekspor yang biasa berlaku.


Sumber intelijen Bea Cukai menjelaskan ada sejumlah produk impor yang akan menyerbu pasar domestik dan masuk secara ilegal, terdiri dari empat peti kemas dari Singapura, 13 peti kemas dari Jerman, satu dari Pakistan dan dua peti kemas masuk dari Thailand.. (dwi pk)

Pengelolaan Peti Kemas Tanjung Priok Buruk

Jakarta:Arus distribusi peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok dinilai masih buruk. Dampak buruknya pengelolaan peti kemas di pelabuhan menyebabkan distribusi barang menjadi terhadap.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, luas pelabuhan tidak imbang dengan jumlah kontainer yang masuk. Selain itu, kata dia, manajemen pengaturan peti kemas masih belum tertata dengan baik. "Luas pelabuhan terlalu padat untuk barang ekspor dan impor yang terus meningkat tiap tahun," ujarnya,

Menurut Mari, kendala lainnya adalah lamanya waktu yang digunakan saat menarik barang impor dari kapal memasuki jalur merah untuk pemeriksaan, "Waktu penarikannya sampai delapan hari," katanya. Bahkan, ratusan peti kemas yang sudah diperiksa masih menumpuk di pelabuhan. Dia mengatakan, tumpukan barang yang seharusnya keluar menunjukkan manajemen arus kontainer yang buruk. "Manajemennya harus diperbaiki."

Dampak dari penumpukan peti kemas, kata Mari, akan memperlambat arus distribusi barang dan pembengkakan biaya operasional. Dia mengatakan, pihaknya akan membahas masalah itu dengan PT Jakarta International Container Terminal, adminitratur pelabuhan, dan PT Pelindo.

Dia menyatakan, pengurusan dokumen di pelabuhan kini sudah lebih baik dibandingkan dua bulan lalu. Sebelumnya, pemeriksaan dokumen menghabiskan waktu selama satu hari. Menurut Mari, pihak Pelindo sudah berjanji pembuatan dokumentasi akan berubah dari manual menjadi elektronik. "Sekarang pembuatan dokumen hanya maksimal satu jam," katanya.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengatakan penumpukan kontainer dikarenakan truk pengangkut dimonopoli Jakarta International Container Terminal, sehingga pemilik barang tidak bisa menggunakan truk. "Jumlahnya juga terbatas," katanya.

Selain itu, adanya pembebasan tarif untuk penyimpanan kontainer di graha dalam jangka waktu tertentu membuat tarif penyimpanan lebih murah dibanding di gudang kontainer mereka sendiri. "Masalah manajemen ini harus diharmoniskan," kata Anwar.

Direktur Teknis Kepabeanan, Agung Kuswandono menjelaskan, buruknya manajemen arus kontainer karena banyak pekerja libur pada bulan puasa hingga satu minggi setelah Lebaran. Sedangkan kapal yang mengangkut peti kemas dari luar negeri, kata dia, terus berdatangan. "Jadi barang impor menumpuk," katanya.

Presiden Direktur Jakarat International Container Terminal Derek J Pierson mengatakan, jumlah kontainer pada tahun ini meningkat 14 persen dibanding tahun lalu. Saat ini jumlah peti kemas mencapai lebih daru dua juta buah. Menurut dia, pada 2007 jumlah kontainer sekitar 160 ribu per bulan. "Saat ini mencapai 185 ribu per bulan dan dengan 5.000 kontainer setiap hari," katanya. Dari jumlah kontainer yang masuk itu, sekitar 3.000 unit dari impor.

Selasa, 16 Desember 2008

KPPP tahan tekstil yang dilepas Beacukai KPU

JAKARTA Satu kontener selundupan berisikan barang campuran tekstil, elektronik dan lainnya ditangkap petugas. Barang impor jalur merah tersebut sempat diperiksa oknum petugas Bea dan Cukai namun entah kenapa dibiarkan keluar dari Kantor Pelayanan Utama (KPU) Beacukai Tanjung Priok.


Kontener ukuran 40 kaki (feet) bernomor TEXU:5438204 dalam dokumen PT Lumbung Makmur oleh petugas Bea dan Cukai (BC) Kantor Pelayanan Utama (KPU) dikenakan jalur merah atau wajib periksa karena dicurigai tidak benar. Selanjutnya oleh petugas BC dilakukan pemeriksaan fisik.


Dari hasil pemeriksaan 90 persen dinyatakan barang tersebut bersalah karena tidak sesuai dokumen serta yang termuat adalah barang larangan dan pembatasan sehingga hanya importir khusus yang boleh mengimpor.


Namun entah karena adanya tekanan dari pejabat Bea dan Cukai atau ada hal lainnya, kontener yang dikapalkan lewat Singapura tersebut dilepas oleh oknum BC pada hari Kamis. Petugas Polres KPPP (Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan) Tanjung Priok yang semula mencium masuknya kontener milik PT LM ini awalnya membiarkan barang tersebut diperiksa petugas pemeriksa BC. Namun karena diloloskan, akhirnya anggota polisi ini membuntutinya sampai akhirnya di tangkap di tengah jalan.


Kapolres KP3 AKBP Fadil saat dikonfirmasi lewat telepon genggamnya membenarkan penangkapan kontener ukuran 40 feet itu. Sedangkan sopir dan kernet serta beberapa orang tengah dimintai keterangannya.


Fadil tidak menampik kemungkinan adanya oknum pejabat BC yang membekingi penyelundup tersebut. Namun untuk pembuktiannya pihaknya masih terus mengembangkan. "Nanti kalau sudah pasti saya beritahu," jelasnya.


Selain satu kontener di atas diperkirakan Sabtu dinihari tiga kontener berisikan ratusan ribu botol minuman impor bermerk keluar dari Pelabuhan Tanjung Priok secara illegal.


Kontener bernomor SIKU 4925761, SIKU 4925695 dan SIKU 4910606 yang diimpor PT CG keluar dari lapangan penumpukan petikemas PT MAL Sabtu dinihari dan langsung dibawa ke gudang kawasan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Diperkirakan di operator PT MAL masih terdapat 25 kontener minuman keras impor yang menunggu lengahnya petugas untuk bisa dikeluarkan. (dwi)

Jumat, 11 Juli 2008

Kinerja Bea Cukai Priok dinilai buruk

JAKARTA: Kalangan pengusaha menilai kinerja Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok semakin buruk dan kini mulai menimbulkan biaya tambahan dan denda yang membebani importir produsen.Untuk itu, pemerintah didesak menerapkan kembali inspeksi pra pengapalan atau preshipment inspection (PSI) untuk menghindari biaya penimbunan di pelabuhan, biaya keterlambatan pemakaian peti kemas (demurrage), dan biaya pemindahan lokasi penimbunan atau overbrengen yang membebani pemilik barang.

"Biaya barang tertahan di pelabuhan kini jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar PSI," ujar Toto Dirgantoro, Ketua Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo), , kemarin.Kinerja KPU Bea dan Cukai yang makin buruk itu, kata Toto, terbukti dari data PT Jakarta International Container Terminal (JICT) per 9 Juli yang menyebutkan dari 804 boks atau 1.211 TEUs peti kemas jalur merah yang diperiksa, hanya 77 boks atau 124 TEUs yang mendapatkan SPPB (Surat Perintah Pengeluaran Barang) dari Bea Cukai."

Artinya, setiap hari hanya 6% dokumen jalur merah yang mendapat SPPB atau dokumen yang mampu diproses oleh Bea Cukai. Sisanya masih tertahan atau dalam proses penetapan harga," tuturnya.MengecewakanKetua Bidang Kepelabuhanan, Kepabeanan, dan Transportasi Depalindo Irwandy M. A. Rajabasa menilai kinerja KPU Bea Cukai Tanjung Priok mengecewakan sejak penggeledahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 30 Mei lalu."Jika KPU Priok tidak mampu meningkatkan kembali kinerjanya, lebih baik diterapkan saja sistem PSI. Importir mungkin lebih baik membayar untuk PSI daripada dibebani biaya tinggi seperti sekarang," ujarnya.

Toto mengungkapkan dokumen impor dan ekspor yang masuk ke KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok sekitar 2.500 per hari, di mana 30% atau 750 dokumen di antaranya masuk pemeriksaan jalur merah."Proses pemeriksaan itu paling lama lima hari kalau tidak ada masalah. Itu sebelum ada penggeledahan oleh KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi], tetapi setelah itu prosesnya butuh waktu paling cepat tujuh hari."Proses yang paling lama, paparnya, adalah penetapan harga, apabila proses dokumen dan pemeriksaan fisik barang bisa dilaksanakan satu hari.

"Kenyataannya, kini banyak dokumen yang terkena tambah bayar dan denda koreksi yang besarannya sampai dengan 1.000%, jadi sudah tidak masuk akal lagi," ujarnya.Toto mengatakan peti kemas impor yang terkena sanksi itu kini tertimbun di pelabuhan. Jadi dari 750 dokumen pemeriksaan jalur merah, hanya 30% yang mampu diproses dan tidak menemui masalah, sisanya sekitar 500 dokumen setiap hari tertahan. "apabila satu dokumen mewakili dua peti kemas saja, berarti setiap hari tertahan 1.000 peti kemas di pelabuhan sejak penggeledahan KPK hingga sekarang."Selain pelayanan dokumen impor jalur merah buruk, pelayanan dokumen perbaikan daftar muatan atau redress manifest yang diajukan oleh pelayaran juga dinilai masih lamban.

Importir protes denda beacukai priok

JAKARTA: Sejumlah importir umum dan produsen mengeluhkan pengenaan sanksi berupa denda administrasi kepabeanan untuk peti kemas impor yang masuk pemeriksaan fisik jalur merah di Pelabuhan Tanjung Priok.Ketua Umum Ikatan Importir Eksportir Indonesia Amalia Achyar mengatakan pengusaha keberatan terhadap kebijakan denda itu.

Denda ditanggung oleh importir yang dihitung dari nilai bea masuk yang kurang dibayarkan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu dari Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tanjung Priok.Menurut dia, organisasinya banyak menerima keluhan dari importir di Pelabuhan Priok mengenai sanksi itu. Kondisi itu berlangsung setelah penggeledahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke KPU Bea Cukai Tanjung Priok, beberapa waktu lalu.

Dia menuturkan setelah penggeledahan KPK, instansi Bea dan Cukai di pelabuhan itu mengambil jalan pintas dengan langsung menerbitkan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran bea masuk (SPKPBM) terhadap dokumen impor barang yang diajukan importir.Dengan begitu, importir diharuskan membayar denda sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.28/ 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan."Akibatnya, importir tidak diberi kesempatan membela diri karena tidak pernah diberitahukan nilai denda serta perhitungannya seperti apa. Kalaupun mengajukan keberatan, prosesnya sangat lama dan perlu jaminan. Itu pun belum tentu barang kami bisa cepat keluar dari pelabuhan," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Amalia memaparkan sebelum penggeledahan KPK ke KPU Bea Cukai Priok, instansi itu memproses penetapan denda administrasi atas kekuarangan pembayaran bea masuk melalui beberapa tahap.Dalam hal ini, lanjutnya, setelah importir menyerahkan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB), importir memperoleh informasi nilai pabean (INP) setelah dilakukan pemeriksaan dokumen oleh petugas fungsional pemeriksa dokumen Bea dan Cukai.Selanjutnya, importir menyerahkan deklarasi nilai pabean (DNP) kepada Bea dan Cukai untuk dilakukan pengecekan kembali sebelum dikeluarkannya penetapan denda administrasi akibat kekurangan pembayaran bea masuk tersebut.

Menurut dia, dengan tidak lagi diterbitkannya INP oleh petugas pemeriksa dokumen Bea Cukai sangat menyulitkan bagi importir untuk mengetahui nilai pabean yang harus ditanggung."Saat ini, importir tidak pernah lagi memperoleh informasi nilai pabean tersebut. Tetapi, langsung dikenakan denda jika terjadi kekurangan pembayaran bea masuk. Bahkan, ada yang terkena denda 1.000%," ujarnya.

DibantahKushari Supriyanto,
Kepala KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok, saat dikonfirmasi Bisnis membantah instansinya tidak lagi menerbitkan INP. Dia mengatakan sesuai dengan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No.P.01/BC-2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Nilai Pabean, bea masuk ditentukan berdasarkan kriteria importirnya.

Adapun, dokumen INP ataupun DNP diterbitkan bagi impor yang melalui pemeriksaan jalur merah. Untuk impor barang yang masuk kategori berisiko tinggi dokumen INP dan DNP tidak akan diterbitkan, sedangkan yang tergolong berisiko sedang, dokumennya tetap diterbitkan.Dalam PP No.28/ 2008 disebutkan apabila ada kekurangan sampai 25% dari bea masuk yang harus dibayarkan, importir dikenakan denda 100% dari kekurangan bea masuk.

Sementara itu, jika ada kekurangan di atas 25% dari bea masuk, dikenakan denda 200% dan kekurangan di atas 50% sampai 75% akan dikenakan denda 400%. Selain itu, jika importir kurang membayar bea masuk di atas 100% dari yang ditetapkan, akan dikenakan denda administrasi 1.000% atau sepuluh kali lipat dari kekurangan bea masuk itu.Ketua Bidang Kepabeanan DPW Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Seluruh Indonesia (Gafeksi) DKI Jakarta Widijanto mengatakan pemerintah perlu meninjau ulang pengenaan denda administrasi kekurangan nilai pabean tersebut untuk menggairahkan dunia usaha kepelabuhanan. (k1)

Rabu, 02 Juli 2008

Rekanan kapal patroli Dephub ngaku diminta Rp1,68 miliar

JAKARTA (Pos Kota) – Kasus penangkapan anggota DPR Bulyan Royan semakin panas. Rekanan proyek pengadaan kapal Patroli mengaku dirinya diminta uang Rp1,6 miliar atau 7 persen dari nilai proyek Rp125 miliar. Bahkan rekanan yang biasa ikut tender di Dephub ikut menambahkan pimpro kerap meminta fee 20 persen dari nilai proyek.
Kalangan DPR RI minta KPK jangan hanya ruangan Dirjen Perhubungan Laut yang digeledah, tapi harus berani memeriksa Menteri Perhubungan dan pejabat ekselon I lainnya yang kemungkinan ikut menerima proyek pengadaan kapal patroli itu.
Kamarudin Simanjuntak, pengacara Dedi Suwarsono, Dirut PT Binamina Karya Perkasa (BKMP), kepada Poskota secara gamblang menuturkan kliennya memberikan uang Rp1,6 miliar dalam beberapa tahap.
Menurutnya, Dedi memberikan ke Bulyon anggota DPR Rp250 juta dalam tiga kali. Pertama menjelang lebaran Rp100 juta kedua akhir tahun 2007 Rp50 juta dan ketiga Januari 2008 Rp100 juta. Sisanya Rp 1,43 miliar dibayarkan lewat money changer di Plaza Senayan.
Sedangkan pertemuan dengan Bulyan, cerita Kamarudin, lewat dua pejabat Dephub D dan M di Hotel Crowne Jl. Gatot Subroto bulan September 2007. Ketika itu Dedi Swarsono langsung ditawari untuk ikut jadi peserta tender pengadaan kapal patroli. Saat itu hadir pula empat rekanan lainnya.
Dalam pertemuan itu disepakati pula para rekanan untuk memberikan 8 persen dari nilai proyek Rp120 miliar dengan alasan untuk Dirjen Perhubungan Laut, Direktur, pimpro dan pejabat Dephub lainnya agar. Uang itu akan digunakan untuk menggolkan anggaran proyek pengadaan kapal patroli di DPR yang sedang dibahas.
Empat bulan kemudian Mei 2008, pertemuan berikutnya dilakukan di lokasi Sauna di Ancol, Jakarta Utara, pada Mei 2008. Dalam pertemuan itu, kelima pengusaha pemenang tender masing-masing memberikan uang kepada dua pejabat Dephub Rp21 juta dan 1.500 dolar AS dan sisanya akan diberikan berdasarkan termen proyek.
MINTA TRANSFER DI MONEY CHANGER
Sebelum KPK melakukan penangkapan terhadap Buyan, cerita Kamarudin, ada pertemuan terakhir kali di salah satu ruang pejabat Dephub di Merdeka Barat dan Hotel Borobudur, Lapangan Banteng pada 24 Juni 2008. Saat itulah dibicarakan mengenai cara pembayaran komisi terakhir pada Bulyan dan pejabat Dephub.
Dedi diharuskan menstrafer Rp 1.430 miliar ke rekening money changer Tri Etra Dua Sisi di Plaza Senayan karena sebelumnya sudah memberikan Rp250 juta. Namun sialnya begitu transfer selesai dan Buyan mencairkan dengan bentuk uang 66.000 dolar AS dan 500 Euro, petugas KPK langsung menangkapnya.
PEMBAGIAN FEE PROYEK HAL YANG BIASA
Sementara itu, beberapa rekanan yang biasa ikut tender di Departemen Perhubungan khususnya Dirjen Perhubungan Laut mengaku pemberian uang fee dari nilai proyek merupakan hal yang sudah biasa mereka lakukan. Bahkan biasanya tidak 8 persen melainkan dipotong 20 persen. “Dipotong delapan persen itumah kecil, biasanya kita dipotong duapuluh persen,” ujar satu rekanan yang takut namanya ditulis.
Sebab, kalau mau dapat proyek biasanya panitia lelang minta 20 persen dari nilai proyek dan diberikan dimuka. Artinya ketika pemenang proyek sudah ditetapkan kepada salah satu perusahaan rekanan, maka saat itu juga uang kontan harus langsung disetorkan kendati proyeknya sendiri belum berjalan.
“Kalau proyeknya kecil ratusan juta rupiah biasanya kita hanya dipertemukan sama pimpro saja, kecuali miliaran, biasanya pejabat ekselon tiga dan dua yang turun langsung,” kata sumber.
Kepala pusat komunikasi (Kapuskom) Dephub Bambang Ervan tidak mau berkomentar mengenai inisial D dan M yang disebut-sebut oleh kuasa hukum dari rekanan Dephub tersebut. “Ini sudah wilayahnya KPK, biarlah KPK yang menyelidiki dan jangan kami yang justru disudutkan,” ujar Bambang Ervan.
DIDUGA MENTERI TAHU
Penangkapan anggota DPR Bulyan Royan yang diduga menerima suap hendaknya diikuti pemeriksaan terhadap para pejabat Departemen Perhubungan, kalau perlu setingkat eselon satu dan menterinya.
“Saya yakin kalau ini terkait dengan pembelian kapal patroli yang dibiayai APBN sangat mungkin menterinya tahu setidaknya setingkat Dirjen mesti tahu, karena itu wajar saja kalau diselidiki,” kata Diah Devawati Ande, anggota DPR dari FPBR yang dihubungi kemarin.
Dikatakan, kalau pihak di Departemen Perhubungan tidak diperiksa Bendahara DPP PBR ini mencurigai ada sekenario yang ingin menjatuhkan nama DPR secara kelembagaan. Karena itu untuk menghindari kecurigaan tersebut masalah ini harus diperlakukan secara imbang.
Sementara itu, para wartawan yang mendengar khabar akan dilakukan penggeledahan terhadap ruang kerja Bulyan Royan di Gedung DPR sejak pagi sudah menunggu dan kecewa karena penggeledahan batal dilakukan.
Komandan Pengamanan Dalam Gedung DPR Setyanto Priyambodo memperkirakan kemungkinan karena besok akan ada rapat dengar pendapat antara KPK dengan Komisi III DPR sehingga penggeledahan dibatalkan.
Sementara itu, juru bicara KPK Johan Budi yang dihubungi membenarkan mengenai rencana dengar pendapat dengan DPR tersebut. Rapat dengar pendapat itu akan dilaksanakan secara tertutup atas permintaan DPR.
Anggota Komisi III DPR Permadi menyayangkan bila penggeledahan yang akan dilakukan di ruang rja Bulyan Royan Gedung DPR itu batal hanya karena akan ada rapat dengar pendapat. “Itu tidak ada hubungannya, mestinya apa yang sudah direncakan tetap dilaksanakan. Karena penundaan seperti ini memungkinkan hilangnya barang bukti sehingga menyulitkan kerja yang seharusya mudah,” katanya.
Permadi juga heran bila benar rapat akan berlangsung secara tertutup. Menurutnya ini aneh dan justru akan menimbulkan pertanyaan banyak pihak. “Ini aneh, ketika ada masalah kok rapat tertutup. Masyarakat akan bertanya-tanya bila ini benar,” ujarnya.
DIRUT BKMP DIPERIKSA LAGI
Direktur PT. Bina Mina Karya Perkasa, Dedy Suharsono, tersangka kasus penyuapan kepada anggota DPR, dalam pengadaan kapal patroli kembali diperiksa KPK, Rabu (2/7).
Melanjuti penangkapan tersebut, KPK lalu menggeledah rumah Bulyan dan Dedi dilanjutkan penggeledahan di gedung Dephub. Dari penggeledahan tersebut, KPK menyita sejumlah dokumen dan data komputer namun hasilnya belum diumumkan.
Juru Bicara KPK, Johan Budi, pemeriksaan masih terus berjalan dan belum ada tersangka baru. "Yang ditangani KPK itu kan terkait dengan proses persetujuan anggaran di DPR. Jika nanti berkembang pada soal pengadaan dan pejabat ekselon 1 dan Menhub terlibat, ya akan kita tindak lanjuti. Namun, sekarang KPK fokus kepada kedua orang itu,"jelas Johan. (tisky/untung/dwi)

Sabtu, 28 Juni 2008

Dirut Pelindo II Tersangka pencemaran limbah di Priok

JAKARTA (Pos Kota) - Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Abdullah Syaefuddin ikut dijadikan tersangka kasus pencemaran dan pengelolaan limbah B3 tanpa izin di Pelabuhan Tanjung Priok, sebelumnya Direktorat Polisi Air juga menetapkan delapan pejabat Pelindo II dan PT galangan kapal Dok Koja Bahari.
Sumber di penyidik Direktorat Polisi Air (Dir Polair) Mabes Polri kemarin mengatakan bos Pelindo II itu seharusnya diperiksa sebagai tersangka pada Rabu siang di Direktorat Polair.
“Dia (Syaefuddin-Red) hanya datang sekitar 15 menit dan belum siap diperiksa karena saat itu mengaku baru datang dari Bali mengikuti acara Pelabuhan dan janji malam hari akan datang,” ujar sumber penyidik Dir Polair.
Tetapi malam harinya Syaefuddin mangkir lagi dengan alasan menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan minta waktu Kamis pagi. Namun lagi-lagi Dirut Pelindo II ini tidak datang dengan alasan mengikuti acara di DPR.
Syaefuddin dijadikan tersangka di Dit Polair terkait didugaan mengetahui banyak tentang pengelolaan limbah B3 tanpa izin di Pelabuhan Tanjung Priok, khususnya pengambilan oli bekas dari kapal, selanjutnya dijual lagi ke lokasi penampungan di luar pelabuhan.
Syaefuddin ketika dimintai keterangannya menolak berkomentar. “Saya no comment. Kalau mau tulis tulis saja tapi sumbernya bukan dari saya,” ujar Dirut Pelindo II itu.
Dalam kasus ini Polisi menetapkan delapan pejabat Pelindo II dan PT Dok & Perkapalan Koja Bahari sebagai tersangka masing-masing: SAP, NU,WH,AS,TR,SS, HS, BH dan Hdyt.
Sementara 10 tersangka lainnya berasal dari perusahaan pengangkut limbah (mitra Pelindo) meliputi: RYH,WA,GP,STN, HN,EK,WWN,SDK,HMS dan YS.
Mereka tidak ditahan karena ada jaminan tidak akan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.
Kasus pencemaran limbah oli bekas ini terungkap karena adanya laporan pengaduan dari kantor kementerian lingkungan hidup bahwa alur perairan Pelabuhan Tanjung Priok tingkat pencemaran saat ini sudah tinggi.
Para tersangka melanggar UU No.23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup pasal 41 ayat (1) dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun dan pasal 43 ayat (3) ancaman hukuman penjara 6 tahun. (dwi)

Jumat, 27 Juni 2008

Pelni berikan tarif diskon

JAKARTA: PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) tetap memberlakukan diskon tarif sebesar 35%-50% pada beberapa rute pelayaran hingga batas waktu yang tidak ditentukan guna meningkatkan tingkat isian penumpang.

Kepala Humas PT Pelni Edi Haryadi mengatakan kebijakan pemotongan harga yang ditetapkan oleh manajemen kantor pusat tersebut tidak diberlakukan untuk semua rute, bergantung pada kebijakan dari tiap-tiap kantor cabang Pelni.

"Potongan harga juga tidak berlaku pada musim liburan sekolah periode Juni-Juli 2008. Selama peak season kami menjual tiket dengan harga normal," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

Mengacu pada kebijakan kantor pusat, manajemen Pelni cabang Tanjung Priok dan Pelabuhan Makassar memutuskan untuk tidak memberlakukan tarif diskon ke semua rute, sedangkan Pelni cabang Pelabuhan Belawan, Medan, memberikan potongan harga. Besaran potongan harga ditetapkan bervariasi.

Edi mengungkapkan tingkat isian penumpang kapal Pelni meningkat dari 50% menjadi 60% sejak kebijakan pemotongan harga tiket diberlakukan pada Februari 2008.

Selain itu, kenaikan harga bahan bakar pesawat yang berdampak pada tingginya harga tiket pesawat juga menjadi pemicu meningkatnya tingkat isian penumpang kapal laut.

Pasalnya, untuk keberangkatan rombongan, masyarakat kembali memilih angkutan penyeberangan jarak panjang.

Edi menegaskan kebijakan pemotongan harga tidak merugikan PT Pelni meski biaya operasional meningkat setelah kenaikan harga bahan bakar minyak pada Mei lalu.

"Karena perusahaan ini memperoleh subsidi pelayanan publik [public service obligation/PSO] Rp850 miliar pada 2008."

Ketua Bidang Penarifan dan Usaha Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) Bambang Harjo mengatakan kebijakan Pelni tersebut memang menguntungkan masyarakat pengguna angkutan laut, tetapi berdampak pada penurunan tingkat isian penumpang kapal milik operator swasta.

Sensitif harga

Pasalnya, menurutnya, penumpang penyeberangan jarak panjang sangat sensitif terhadap selisih tarif. "Kami memang memperoleh kebebasan untuk menetapkan tarif, tetapi tidak mungkin juga tarif diturunkan sampai 35% karena tarif yang berlaku saat ini saja sangat pas untuk menutupi biaya operasional," ujarnya.

Usaha penyeberangan swasta yang memiliki jalur berimpitan dengan Pelni keberatan dengan kebijakan pemotongan harga tiket yang diberlakukan oleh Pelni karena dipastikan akan menurunkan jumlah penumpang.

Menyikapi kondisi itu, operator swasta meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan di sektor angkutan penyeberangan jarak panjang.

Pasalnya, persaingan antara Pelni dan swasta dinilai kurang berimbang karena BUMN pelayanan tersebut memperoleh PSO, sedangkan swasta tidak.

Gapasdap menilai terdapat dua alternatif penyelesaian masalah untuk menghindari kebangkrutan pengusaha penyeberangan jarak jauh swasta kelas ekonomi.

Pertama, dana PSO tidak hanya diberikan kepada Pelni, tetapi juga swasta yang melayani rute sama. Kedua, tarif Pelni untuk penyeberangan kelas ekonomi dinaikkan 20%-30% seiring dengan pengurangan dana subsidi sebesar 30%.

1 Juli Depo petikemas akan naikan tarif

JAKARTA: Pengusaha depo kontainer akan menaikkan tarif lift on-lift off atau pelayanan bongkar muat peti kemas minimal 25% untuk perusahaan pelayaran mulai 1 Juli 2008.

Ketua Umum Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (Asdeki) Muslan A.R. mengatakan penyesuaian tarif baru untuk pengguna jasa langsung sudah diberlakukan pada 15 Juni lalu.

Selain kenaikan tarif pemindahan peti kemas sebesar 25% bagi perusahaan pelayaran, biaya penyimpanan juga naik 20%, pencucian kontainer naik 20%, biaya tenaga kerja per jam naik 20%, serta biaya perawatan dan perbaikan naik 30%.

"Penyesuaian tarif ini sudah disosialisasikan dan pihak pengguna bisa memakluminya. Kenaikan formulasi kenaikan tarif itu sebetulnya masih jauh di bawah kenaikan harga bahan bakar minyak dan suku cadang," ujarnya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Selasa, 24 Juni 2008

Pelindo wajib urus izin limbah B3

JAKARTA (Pos Kota) – Menyusul ditetapkan delapan pejabat Pelindo II dan Dok Koja Bahari (DKB) I-IV sebagai tersangka kasus pencemaran limbah oli (B3) di perairan Pelabuhan Tanjung Priok oleh Direktorat Polisi Air (Dir Polair), managemen Pelindo II mengklaim sudah memiliki Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) dan menolak melakukan pencemaran lingkungan laut sekitar pelabuhan.
Sedangkan Menteri Perhubungan (Menhub) Jusman Syafii meminta Dirut Pelindo II segera mengurus perizinan pengumpul dan penyimpan limbah B3 sesuai Permen Negara lingkungn hidup No.03/2007 tentang fasilitas pengumpulan dan penyimpanan limbah B3.
Dalam suratnya No.LT.508/1/4phb-2008 tertanggal 23 Juni 2008 (sehari setelah pemberitaan Poskota) Menhub menjelaskan masalah limbah B3 di areal Pelabuhan Tanjung Priok keberadaan pelayanan limbah atau Reception Facility (RF) adalah legal.
Sebab sesuai Keputusan menteri perhubungan (kepmenhub) No.KM215/AL.506/PHB-87 pelabuhan umum wajib dilengkapi dengan fasilitas penampungan limbah atau bahan lainnya dari kapal yang menyebabkan pencemaran. Sedangkan masalah izin pelayanan limbah (RF) telah melekat pada saat izin penyelenggaraan pengelolaan limbah pelabuhan dan setiap 6 bulan sekali wajib melaporkan kepada menteri Negara lingkungan hidup.
Poskota sebelumnya memberitakan delapan pejabat dan direktur di Pelindo II dan PT Dok Koja Bahari (DKB) I sampai IV ditetapkan oleh Direktorat Polair Mabes Polri sebagai tersangka kasus pencemaran limbah oli dari kapal. Mereka yakni: AS, SAP, HS, BH, NU, WH, TR, SS dan HDYT karena melakukangkan pengangkutan limbah tanpa dilengkapi izin dan pencemaran lingkungan hidup. (dwi)

Senin, 23 Juni 2008

Di KPU BC Priok pengeluaran barang jalur merah hingga kini masih tersendat

JAKARTA: Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai pelabuhan Tanjung Priok mengakui pengeluaran barang impor yang masuk jalur merah hingga hari masih tersendat akibat minimnya delivery dari pemilik barang.
Padahal KPU Tanjung Priok telah menggenjot proses pemeriksaan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) maupun pemeriksaan fisik petikemas jalur merah dengan rata-rata bisa menyelesaikan 365 s/d 380 dokumen perhari.
Akaibat, masih banyak petikemas di jalur tersebut yang tertahan di pelabuhan dan mengakibatkan kepadatan petikemas di lapangan penumpukan TPS jalur merah.
“Kalau untuk pengurusan dokumen sudah berjalan normal begitupun pemeriksaan fisik barang pekerjaanya telah di percepat, sedangkan untuk mengetahui penyebab kepadatan petikemas yang sudah di periksa di jalur merah hingga saat ini sedang ditangai oleh Tim internal kami yang berasal dari unsur penindakan dan penyidikan (P2) serta unsur pabean,”ujar Kushari Supriyanto, Kepala KPU Bea dan Cukai pelabuhan Tanjung Priok.
Dia menegaskan hal itu menanggapi adanya ribuan boks petikemas impor pemeriksaan jalur merah (PJM) yang sudah mengantongi Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB), namun tidak langsung dilakukan delivery.
“Yang pasti tim kami sedang meneliti hal itu. Tetapi kalau menyangkut delivery petikemas yang sudah seharusnya dikeluarkan dari pelabuhan, hal itu bukan lagi menjadi urusan Bea dan Cukai, tetapi merupakan kewenangan TPS bersangkutan dan pemilik barang kenapa tidak langsung di keluarkan dari pelabuhan,” paparnya.
Dia juga mengungkapkan, tingkat kepadatan petikemas atau Yard Occupancy Ratio (YOR) di Jakarta International Container Terminal (JICT) hari ini 77%, TPK Koja 79%, Mustika Alam Lestari (MAL) 83%, dan TPS Graha Segara yang mengoperasikan areal untuk pemeriksaan jalur merah (PJM) 111%. Sementara YOR untuk petikemas impor jenis reefer (berpendingin) 46%.

IMO Watch desak KPK tertibkan seluruh instansi pelayanan umum di pelabuhan

Jakarta: Indonesian Maritime and Ocean (IMO) Watch mendesak pemerintah mengatasi persoalan pungutan liar (pungli) yang saat ini masih terjadi pada aktivitas kepelabuhanan. Lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan pada pengawasan bidang kemaritiman itu juga meminta Komisi Pemberatantasan Korupsi (KPK) turun tangan melakukan penindakan korupsi, suap menyuap atau sejenisnya yang saat ini masih terjadi di seluruh instansi yang berperan dalam pelayanan umum jasa kepelabuhanan.
“Kami juga merespon posisitf upaya KPK yang menggeledah kantor Bea dan Cukai pelabuhan Tanjung Priok pada 30 Mei lalu.Tetapi mestinya hal itu juga dilakukan terhadap seluruh instansi yang ada melayani pelayanan umum di pelabuhan tersebut,”ujar Anthon Sihombing Ketua Umum IMO Watch kepada wartawan kemarin.
Dia menyebutkan, pelayanan umum jasa kepelabuhanan tidak hanya dilakukan oleh aparat Ditjen Bea dan Cukai, tetapi juga melibatkan beberapa instansi lainnya seperti Badan Karantina Departemen Pertanian, Administrator Pelabuhan (Adpel),dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) itu sendiri selaku penyedia fasilitas kepelabuhanan.
IMO Watch menyebutkan pungutan liar sudah terjadi saat truk angkutan barang keluar masuk pelabuhan yang dilakukan oknum petugas penjaga pintu masuk (gate) pelabuhan. Kemudian terjadi pada saat dilakukan kegiatan bongkar muat barang maupun petikemas oleh petugas operator di dermaga maupun lapangan penumpukan.”Jumlahnya bervariatif antara Rp.5 ribu hingga Rp.50 ribu. Tetapi jika dikalkulasikan bisa mencapai milliaran rupiah pertahun mengingat arus keluar masuk barang melalui pelabuhan Tanjung Priok cukup besar,”ungkapnya.
Anthon mengatakan lembaga yang dipimpinnya telah menerima sejumlah keluhan dari berbagai kalangan pengguna jasa kepelabuhanan. Bahkan ujar dia, pungli tersebut, belum termasuk yang dilakukan ketika proses pengurusan dokumen sandar kapal atau Surat Izin Berlayar (SIB), keterangan olah gerak kapal oleh oknun petugas Adpel.
Dia juga mengatakan persoalan mendasar saat ini terjadi ketidakseragaman penghasilan petugas dari berbagai instansi di pelabuhan sehingga mengakibatkan kecemburuan dan berpotensi muncul ketidakharmonisan antar sektoral (departemen) dalam memberikan pelayanan umum jasa kepelabuhanan.
Untuk itu, IMO Watch mendesak perlu dilakukan pembenahan secara menyeluruh terhadap penghasilan petugas (SDM) yang bertanggung jawab pada kelancaran keluar masuk barang di pelabuhan. “Pemerintah perlu mengkaji kembali pendapatan SDM dari seluruh instansi pelayanan umum di pelabuhan itu agar terwujud pemerataan penghasilan untuk menghindari terjadinya kecemburuan antar instansi yang terlibat,”tegasnya.[*]

David rekanan DKP ditahan KPK

KPK menahan rekanan DKP David K Wiranata terkait dugaan korupsi pengadaan bantuan korban tsunami di Jawa Tengah dan Jawa Barat. David ditahan setelah sebelumnya ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, pukul 08.15 WIB kemarin (18/06). Setelahmelalui pemeriksaan sekitar delapan jam, David langsung dijebloskan ke rumah tahanan (rutan) Polres Jakarta Barat. Dia merupakan salah satu tersangka kasus yang merugikan negara Rp 7-8 miliar.
"David dituduh melakukan pelanggaran Pasal 2 ayat 1, Pasal 3,5, dan Pasal 12 huruf i Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," papar Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra M Hamzah di Gedung KPK Jakarta kemarin (18/06).
David yang mengenakan kemeja putih lengan panjang dan jas hitam itu tampak kusut. Bahkan, laki-laki setengah baya yang mengenakan kaca mata ini langsung mema-sukimobil tah anan KPKtanpa memberikan komentar. Dia hanya menundukkan kepala sambil sesekali menggelang-gelengkan kepala seolah menolak seluruh pertanyaan yang dilontarkan wartawan.
Chandra menjelaskan, penetapan David sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan kasus ini. Hingga saat ini, KPK baru menetapkan David sebagai tersangka dalam pengembangan penyelidikan kasus tersebut. Namun, dia berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut jika ada bukti baru yang melibatkan pejabat di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). "Hingga saat ini baru sampai David," tandasnya.
David merupakan rekanan DKP dalam pengadaan alat bantuan korban tsunami di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Barat (Jabar). Dalam kasus di Jateng, David merupakan penyedia alat bantuan tsunami berupa kapal 1 GP bermesin 15 PK dan alat tangkap yang dibiayai dari APBN -P 2006. Dalam APBN-P tersebut anggaran yang diajukan sebesar Rp19,9 miliar, padahal yang dibutuhkan hanya Rp12,6 miliar.
Rencananya, alat yang diajukan bermerek Suzuki, tetapi di tengah proses penga-daan barang diubah oleh David menjadi Yamaha. Bahkan, pengadaan bantuan ini diduga tanpa melalui proses tender terbuka. Keterlibatan David terungkap dalam sidang yang menghadirkan terdakwa mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jateng Hari Purnomo.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) beberapa waktu lalu, Hari mengaku David pernah memberikan uang Rp 1,8 miliar kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi atas pengadaan alat bantuan tsunami tersebut.
Sementara itu, penasihat hukum David, Nazarudin Lubis, menolak penahanan kliennya. Menurut dia, penahanan David tidak didasarkan pada alat bukti yang cukup. Dia menilai penahanan ini masih bersifat prematur. "Dalam penahanan, pasti itu berpatokan pada alat bukti. Dasar inilah yang kami jadikan acuan menolak penandatanganan BAP (berita acara pemeriksaan)," ungkap Nazarudin saat mendampingi David.
Mengenai pengakuan Hari Purnomo dalam sidang itu, Nazarudin membantah kliennya melakukan hal tersebut. "Tidak benar sama sekali. Hal itu bisa dibuktikan di dalam persidangan," paparnya.
Dalam kasus ini, dua pejabat DKP Jateng telah divonis. Mereka adalah mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jateng Hari Purnomo dijatuhihukuman lima tahun penjara dan mantan Kepala Seksi Penangkapan Ikan Dinas Perikanan dan Kelautan Jateng Elizabeth Tutuarina divonis enam tahun penjara.

Minggu, 22 Juni 2008

8 Pejabat Pelindo dan Dok Koja Bahari Tersangka

JAKARTA (Pos Kota) – Delapan pejabat BUMN PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Tanjung Priok dan galangan kapal PT Dok Koja Bahari resmi menjadi tersangka kasus pencemaran limbah di lingkungan perairan Pelabuhan Tanjung Priok oleh Direktorat Polisi Air Mabes Polri.
Kedelapan pejabat tersebut yakni Sap, NU, WH, AS, TR, SS, HS, BH dan HDYT dengan jabatan mulai dari asisten manager, manager, kepala cabang atau general manager hingga direktur.
Selain dua BUMN juga ditetapkan 10 perusahaan swasta pengangkutan limbah yakni BBS, WK, KTU, PP, DRU, UGR, SBM dan BPP dengan tersangkanya pimpinan mereka RYH, WA, GP, STN, HN, EK, WWN, SDK, HMS dan YS.
Namun demikian, kata sumber di Pol Air Mabes Polri, mereka tidak ditahan karena ada jaminan bahwa tidak akan melarikan diri dan tidak menghilangkan barang bukti. Sedangkan barang bukti kapal thaug boad dan cairan limbah padat dan limbah cair kini ditahan di Pol Air Mabes Polri.
Pelanggaran yang dilakukan mereka yakni melakukan pengangkutan limbah B3 tanpa dilengkapi ijin sehingga terjadi pencemaran lingkungan hidup dengan membuang limbah B3 dan limbah lainnya di dalam lokasi perusahaan.
Akibatnya, para tersangka melanggar UU No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pasal 41 ayat (1) dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara serta Pasal 43 ayat (1) ancaman 6 tahun penjara.
Saat ini kasus tersebut sudah diproses dan dalam waktu dekat berkasnya segera dilimpahkan ke Pengadinal Negeri Jakarta Utara, sambil menunggu hasil pemeriksaan para saksi ahli pakar lingkungan hidup yang bergelar professor lingkungan hidup.
Humas Pelindo Tanjung Priok Hambar Wiyadi mengaku ada beberapa pejabat yang diperiksa di Pol Air Mabes Polri dengan tuduhan melakukan pencemaran lingkungan. Namun menurut Hambar hal itu hanya kesalahan persepsi atau perbedaan pendapatan saja. (dwi)

Jumat, 20 Juni 2008

Pengelola terminal petikemas agar tertibkan truk liar

JAKARTA: Pengelola terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok diminta segera menertibkan angkutan truk yang keluar masuk pelabuhan itu, menyusul banyaknya armada ilegal yang tidak memenuhi persayaratan beroperasi.
Maradang Rasjid, Sekretaris Organda Angkutan Khusus Pelabuhan (Angsuspel) DKI Jakarta, mengatakan penertiban itu juga untuk meminimalisasi kasus kecelakaan saat distribusi peti kemas dari dan ke pelabuhan, sekaligus memberikan kepastian jaminan usaha bagi angkutan kontainer yang resmi.
"Masih banyak truk pengangkut peti kemas ilegal dan tidak layak operasi tetap leluasa keluar masuk ke terminal peti kemas tersebut. Jumlahnya sekitar 30% dari yang total truk yang beroperasi saat ini," ujar Maradang kepada Bisnis, kemarin.
Dia menjelaskan banyaknya angkutan truk yang tidak layak operasi sangat rawan kecelakaan, terlebih lagi tanpa mengantongi izin usaha resmi alias bodong.Angsuspel, lanjutnya, telah berulang kali menyampaikan persoalan tersebut kepada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II cabang Tanjung Priok dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Namun, hingga kini belum mendapat respons yang positif."Jalan satu-satunya adalah operator terminal peti kemas yang melakukan penertiban dengan menyeleksi ulang semua armada yang beroperasi di pelabuhan," tegasnya.
Maradang menyebutkan kini tercatat lebih dari 11.000 armada truk yang melayani distribusi peti kemas dari dan ke terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, seperti Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Mustika Alam Lestari (MAL), dan Multi Terminal Indonesia (MTI).
Menurut dia, pengelola terminal peti kemas perlu segera menyiapkan standar baku pengaturan truk pengangkut peti kemas yang diperbolehkan keluar masuk pelabuhan.Pengaturan tersebut, paparnya, mencakup penerapan sistem online guna memudahkan truk pengangkut peti kemas mengetahui posisi barang yang akan diangkut termasuk di lapangan penumpukan."Persyaratan armada juga harus diperketat, seperti memiliki izin usaha yang masih berlaku dan standar kelaikan operasionalnya yang dibuktikan dengan adanya keterangan resmi dari instansi terkait," paparnya.

Lapangan peti kemas di Priok ditargetkan normal akhir pekan ini

JAKARTA: Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok menggenjot proses pemeriksaan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan pemeriksaan fisik peti kemas jalur merah dengan target penyelesaian 380 dokumen per hari.

Instansi itu memproyeksikan kepadatan peti kemas impor di tempat penimbunan sementara (TPS) jalur merah di pelabuhan itu segera normal sebelum akhir pekan ini.

"Pengurusan dokumen sudah berjalan normal, begitu juga pemeriksaan fisik barang sudah dipercepat, sedangkan untuk mengetahui penyebab kepadatan peti kemas yang sudah diperiksa di jalur merah hingga saat ini ditangani oleh tim internal kami dari unsur penindakan dan penyidikan serta pabean," kata Kushari Supriyanto, Kepala KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok kepada Bisnis, kemarin.

Dia mengungkapkan hal itu menanggapi adanya ribuan boks peti kemas impor pemeriksaan jalur me rah yang sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB), namun tidak langsung dilakukan pengiriman atau delivery.

"Yang pasti, tim kami sedang meneliti hal itu. Namun, kalau menyangkut delivery peti kemas yang sudah seharusnya dikeluarkan dari pelabuhan, itu bukan lagi menjadi urusan Bea Cukai, melainkan kewenangan TPS bersangkutan dan pemilik barang kenapa tidak langsung dikeluarkan dari pelabuhan," ujarnya.

Mulai normal

Menurut Kushari, tingkat kepadatan peti kemas atau yard occupancy ratio (YOR) di sejumlah terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok kemarin mulai normal, bahkan di bawah batas maksimal YOR sebesar 85%.

Berdasarkan laporan operator terminal peti kemas dan pantauan petugas Bea dan Cukai di lapangan, YOR di Jakarta International Container Terminal (JICT) kemarin tercatat 77%, Terminal Peti Kemas (TPK) Koja 79,52%, Mustika Alam Lestari (MAL) 83,12%, TPS Dwipa 44,83%, dan TPS Graha Segara yang mengoperasikan areal untuk pemeriksaan jalur merah 111,31%. Sementara itu, YOR untuk peti kemas impor jenis berpendingin atau reefer 46%.

Kondisi tersebut, kata Kushari, jauh dari batas normal jika dibandingkan dengan kondisi pada 29 Mei, di mana YOR di JICT mencapai 78%, MAL 107%, TPK Koja 101%, TPS Dwipa 62%, TPS Graha Segara 88%, dan peti kemas reefer 62%.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) Suryantono mengatakan kepadatan peti kemas impor jalur merah juga disebabkan keterbatasan areal penumpukan dan lahan pemeriksaan di jalur itu.

Selain itu, sejumlah importir umum dan forwarder juga diduga sebagai pemicu tertahannya ribuan peti kemas impor yang masuk jalur merah di Pelabuhan Tanjung Priok karena sengaja tidak mengeluarkan barang meski telah mengantongi SPPB dari Bea dan Cukai.

Ketua Umum Ikatan Importir Eksportir Indonesia (IIEI) Amelia Achyar mengatakan aparat Ditjen Bea dan Cukai harus segera menindak importir umum dan perusahaan forwarder yang sengaja menahan barang impor di Pelabuhan Priok karena dikhawatirkan akan memperparah stagnasi di pelabuhan itu.

"Praktik membiarkan peti kemas berlama-lama di pelabuhan ditengarai kerap dilakukan oleh perusahaan forwarder nakal yang menjadi kepanjangan tangan dari importir umum. Ini harus ditindak tegas karena mengancam perekonomian nasional."

Dia menjelaskan pemindahan lokasi penumpukan atau overbrengen ke tempat penimbunan sementara tidak bisa dilakukan untuk peti kemas yang sudah diperiksa dan mengantongi SPPB. Hal itu mengakibatkan ribuan peti kemas masih menumpuk di TPS jalur merah di Pelabuhan Priok.

Ketua Bidang Kepabeanan DPW Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) DKI Jakarta Widijanto mengatakan pihaknya juga mendukung penertiban terhadap importir umum dan perusahaan forwarder nakal yang menjadi biang keladi terjadinya stagnasi di Pelabuhan Priok. (k1/

BC Jakarta sita ketamin,

Lamban periksa dokumen, 1.986 petikemas impor jalur merah tertahan di Priok


Stock Kontener di tempat pemeriksaan Jalur Merah 17 Juni 2008

BOXES
TEUS
YOR
Stock Kontener
1.349
1.986
113%
Kontener yang belum di Periksa
602
866
48,11%
Kontener yang telah di periksa
747
1.12
62%
Delivery
27
35
_
Sumber: TPS Graha Segara-diolah





JAKARTA: Sedikitnya 1.986 petikemas impor jalur merah tertahan di pelabuhan Tanjung Priok kemarin akibat lamban dalam proses pemeriksaan dokumen pengeluaran barang di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Priok. Kondisi itu menimbulkan kepadatan di terminal petikemas tersibuk di Indonesia itu sehingga berpotensi melumpuhkan perekonomian nasional.
Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi, membantah tertahannya petikemas impor itu karena proses dokumen di instansinya lamban. Bahkan dia mengatakan sebenarnya proses pengurusan dokumen di Bea dan Cukai sudah normal dan pihaknya menerapkan aturan secara konsisten.”Tetapi PPJK dan importir yang tidak patuh mulai ‘gerah’ sehingga menahan barang untuk tidak segera dikeluarkan dari pelabuhan,”ujarnya kepada Bisnis melalui telpon selulernya dari Laos Kamboja.
Kushari Supriyanto Kepala KPU Tanjung Priok mengakui ribuan boks petikemas jalur merah di pelabuhan terhambat keluar dan segera dicarikan jalan keluar. “Kita langsung adakan rapat untuk membahas permasalahan tersebut,”ujarnya.
Widijanto, Ketua Bidang Kepabeanan DPW Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) DKI Jakarta mengungkapkan belakangan ini proses pengurusan dokumen pengeluaran barang jalur merah hingga keluarnya Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang (SPPB) membutuhkan waktu rata-rata tujuh sampai 10 hari, dan itu belum lagi apabila terkena denda (notul) bisa melebihi 14 hari. “Saat ini untuk menunggu pejabat fungsional pemeriksa barang memakan waktu tiga sampai empat hari.Padahal proses pemeriksaan barang hanya dibutuhkan satu sampai dua hari. Kemudian untuk menentukan bea masuk, butuh waktu tiga hari,”paparnya.
Perusahaan forwarder di pelabuhan Tanjung Priok juga mendesak agar KPU mempercepat proses pemeriksaan dokumen dan fisik barang dengan menambah jumlah personel.”Pemeriksaan boleh teliti sepanjang ada kepastian dan standar waktu pelayanan,”tegasnya.
Pihak Gafeksi, kata dia, sudah menyurati KPU Tanjung Priok untuk bertemu membahas hambatan pengeluaran barang impor dari pelabuhan, namun hingga kini belum mendapat respon.
Berdasarkan laporan pengelola Tempat Penimbunan Sementara (TPS) Graha Segara, pasca penggeledahan KPK ke KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok pada 30 Mei lalu, pengeluaran barang jalur merah (dilevery) sudah mencapai 3.012 TEUs atau rata-rata 177 TEUs perhari, dan pada hari libur hanya mencapai 10 TEUs hingga 20 TEUs. Padahal sebelumnya dilevery rata-rata mencapai 250 TEUs hingga 300 TEUs perhari.
Laporan itu juga menyebutkan penyebab tingginya YOR di TPS tersebut karena petikemas pemeriksaan jalur merah (PJM) yang sudah direlokasikan dari Jakarta International Container Terminal (JICT) tidak segera dilakukan pemeriksaan (behandle). Selain itu petikemas yang sudah diperiksa tidak langsung dibuatkan SPPB, dan petikemas yang sudah mengantongi SPPB tidak segera dikeluarkan oleh pemilik barang. Ada dugaan, pemilik barang lebih memilih menimbun petikemasnya di TPS jalur merah ketimbang harus di over brengen atau PLP (Pemindahan Lokasi Penumpukan) ke TPS tujuan di dalam maupun luar pelabuhan.
Kemudian pemilik barang dan PPJK lebih memilih jalur merah daripada jalur hijau karena jalur hijau terkena sanksi PLP yang biayanya per kontener sebesar Rp.1.560.000 untuk petikemas 20 kaki dan Rp.2.016.000 terhadap petikemas 40 kaki.Sedangkan yang masuk jalur merah tidak terkena sanksi PLP yang memakan biaya sebesar itu.
Sementara itu, kemarin Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Diah Maulida meninjau langsung jalur distribusi dan menyaksikan sendiri tingkat kepadatan petikemas impor di terminal JICT, TPK Koja, terminal konvensional serta Car Terminal pelabuhan Tanjung Priok.

Senin, 16 Juni 2008

Dirjen Beacukai: PFPD Jangan hambat dokumen

JAKARTA - Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi minta agar Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) Bea dan Cukai (BC) KPU Tanjung Priok jangan lamban dalam memeriksa dokumen. Sebab pihaknya mulai mendengar adanya keluhan dari importir dan Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) pasca KPK turun dokumen tidak diperiksa.
“Saya sudah tanyakan kepada Kepala KPU Pak Kusheri, memang dalam tiga hari setelah KPK turun, banyak pegawai PFPD KPU Tanjung Priok shock dan lamban memeriksa dokumen, tapi sekarang sudah mulai lancar,” ujar Anwar Suprijadi kemarin.
Menurutnya, berdasarkan laporan kepala KPU Tanjung Priok dokumen yang mulai diperiksa setiap harinya tidak lebih 500 dokumen. Kalau ada PFPD yang menolak memeiksa Anwar berharap importir segera melaporkan kepadanya dan pegawai tersebut akan dipanggilnya.
Kusheri, Kepala KPU BC Tanjung Priok mengakui banyak dokumen telantar sejak dua Minggu terakhir ini. Namun katanya, pihaknya sudah membentuk tim guna mengevaluasi dokumen apa saja yang menjadi prioritas diperiksa. “Mungkin saja ada PFPD yang meriksa dokumen yang biaya masuknya ringan-ringan dulu, mangkanya ada yang dokumennya sudah 15 hari belum diperiksa.”
Sebelumnya sejumlah importir dan PPJK yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok mengeluh dokumen mereka sejak hari Jumat (30 Mei) saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruangan PFPD, dokumen mereka hingga kini tidak diperiksa padahal dokumennya tidak termasuk yang disita KPK.
Akibatnya, selain mendapat komplain dari pemilik barang, mereka khawatir akan dibebankan biaya penumpukan berlipat ganda. “Kalau begini apakah Dirjen Beacukai mau bertanggung jawab bayar sewa gudang berhari-hari,” kata Ramadhan, dari perusahaan PPJK.
Selain itu, untuk meminta petugas pemeriksa barang, PFPD baru memerikan jawaban lima hari, padahal sebelumnya satu, dua hari sudah ada petugas yang memeriksa.
Seperti diketahui sekitar 30 petugas KPK menggeledah ruangan PFPD pada kantor KPU BC Tanjung Priok. Hasilnya selama 12 jam memeriksa ruangan ditemukan uang Rp500 juta dari kaos kaki, laci meja, kamar mandi, dalam ampolop dan map dan tempat tersembunyi lainnya. Selain itu ditemukan uang dolar AS dan Australia serta dolar Singapura, ditambah bukti tranper serta buku tabungan ratusan juta rupiah. Lima orang kini ditetapkan menjadi tersangka.