Kamis, 15 Januari 2009

Bisakah pungli di Priok hilang

Sulit Memangkas Pungli di Tanjung Priok

BANYAK cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui atau melihat langsung praktik pungutan liar (pungli) di Indonesia. Di antara banyak jalan itu, salah satu di antaranya ialah Pelabuhan Tanjung Priok. Korupsi atau pungutan liar kecil-kecilan di sini, kasat mata. Anda tidak perlu bersusah-susah menyelidiki, sebab pungutan itu tampak di mana-mana, termasuk di jalan-jalan pelabuhan terbesar di Indonesia ini.

DENGARLAH misalnya, penuturan Santoso, eksekutif di sebuah perusahaan bongkar muat. Untuk sandar di Priok seorang nakhoda setidaknya mesti mengeluarkan uang pelicin sebesar 100 sampai 200 dollar AS. "Ini menyebabkan setiap nakhoda kapal berbendera asing yang baru pertama kali masuk ke Tanjung Priok selalu terkejut. Uang sebesar itu sebetulnya tidaklah besar, tetapi masalahnya bukan besar kecilnya, melainkan ini tindakan ilegal," kata Santoso di Jakarta, pekan lalu.

Jika tidak mau menyelipkan uang semir itu, papar Santoso, sulit mengharapkan kapal itu mudah bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal seperti yang sudah mereka jadwalkan untuk perjalanan kapal tersebut jauh hari sebelumnya.

"Jadi, daripada harus lego jangkar lagi di luar selama satu dua hari, lebih baik memahami praktik uang semir itu. Ini bukan berarti saya menghalalkan apa yang berkaitan dengan uang semir, tetapi saya melihat masalah dalam perspektif bisnis. Lego jangkar di luar, juga membutuhkan anggaran lumayan besar," ungkap Santoso.

Alex Langkahi, usahawan perkapalan lainnya, setuju dengan pandangan Santoso. Masalahnya, para pengusaha harus memenuhi jadwal yang telah dibuat, sehingga akhirnya "uang pelicin" tersebut harus mereka penuhi.

"Sebab kalau tidak barang ekspor-impor yang mereka bawa tidak akan tiba di tempat tujuan sesuai jadwal yang sudah disetujui dengan eksportir maupun importirnya yang menggunakan jasa perusahaan mereka," ucap Alex. Uang pelicin itu sendiri kemudian akan diberikan kepada petugas yang terkait dengan proses sandarnya kapal timpal Sulaiman dari perusahaan bongkar muat lainnya. Mulai dari oknum PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Pandu Laut, petugas kapal tunda sampai pada mandor dan petugas angkutan bongkar muat.

"Karena pelabuhan merupakan salah satu bentuk dari wajah suatu negara, maka dengan mudah pihak asing dapat menilai Indonesia. Itu sebabnya, kalau Indonesia disebut paling korup di dunia, ya terpaksa kita harus akui," ucap Alex. Lama kelamaan, para awak kapal asing itu juga akan semakin terbiasa dengan iklim seperti ini. "Jadi, kalau kapal mereka mau masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok, tanpa diminta pun mereka pasti akan menyiapkan dana tersebut. Sebab mereka tidak mau jadwal perjalanan mereka rusak hanya karena uang 100 atau 200 dollar di Tanjung Priok." tambah Santoso

SJARIFUDDIN Mallarangan, Direktur PT Pelayaran Prima Vista menyebutkan, sebenarnya kasus tersebut bukan terjadi pada kapal berbendera asing saja. Maskapai pelayaran nasional pun selama ini mengalami hal yang sama. "Ini sempat saya sampaikan dalam pertemuan antara para Direktur PT (Persero) Pelindo I sampai IV yang mengikutsertakan Indonesian National Ship-owner Association (INSA -Persatuan Pelayaran Niaga Indonesia) di Yogyakarta, belum lama ini," ujar Sjarifuddin.

Karena untuk kapal milik perusahaan pelayaran nasional sendiri tetap saja ada biaya "wajib" yang harus diberikan kepada kepanduan atau kapal tunda setelah menggunakan jasanya. "Sebenarnya, pemanfaatan jasa kepanduan dan kapal tunda itu untuk keselamatan pelayaran. Belakangan ini, biaya yang harus dilepaskan untuk mendapatkan jasa tersebut sudah mencapai jutaan rupiah. Tergantung pada bobot mati (GRT) kapal tersebut. "Saya sudah mengingatkan kepada para Direktur PT (Persero) Pelindo agar hal itu dipikirkan lagi," ujar Sjarifuddin.

"Sebab kalau tidak, hal itu bukan hanya mempersulit anggota INSA saja, tetapi ekonomi nasional yang saat ini masih tertatih-tatih pun tidak akan pernah tumbuh dengan baik hanya karena, kapal-kapal pelayaran nasional harus menanggung beban yang terlalu tinggi," tambah Direktur PT Pelayaran Prima Vista itu. "Hal yang menyedihkan lagi, kerap biaya itu harus dikeluarkan perusahaan pelayaran nasional walau pun mereka tidak menggunakan jasa kepanduan dan jasa tunda. Padahal kita tahu, dalam dunia bisnis ada ungkapan no work no pay. Tetapi dalam hal layanan kepanduan dan jasa tunda, malah sebaliknya. Kita harus mengeluarkan uang tanpa mendapatkan jasa apa pun," lanjut Sjarifuddin. Menurut Sjarifuddin, yang diungkapkan kepada para Direktur PT (Persero) Pelindo, hal ini sudah mendapat perhatian. Para pelaksana di lapangan sudah berjanji memperhatikan dan menyelesaikan hal tersebut. Kalau janji itu tidak dipenuhi, percuma saja.

Sudah terbukti bahwa meski pemasukan PT (Persero) Pelindo sampai milyaran rupiah ternyata hanya kantornya saja yang dibangun megah. Tidak pernah ada penambahan pelabuhan baru. "Semua yang ada saat ini kan sudah dibangun Belanda sejak dulu," tutur Susanto. Pendapatan milyaran tadi juga tidak mampu memusnahkan budaya pungli yang ada, tetapi justru semakin berkembang dan mendarah-daging. "Akibatnya kita semua sudah tahu, Pelabuhan Tanjung Priok ini merupakan salah satu titik penyebab ekonomi biaya tinggi negara Indonesia", katanya

PUNGLI lainnya yang juga membuat ekonomi biaya tinggi terjadi pada saat eksportir/ importir akan menyelesaikan urusan Terminal Handling Charge (THC) yang biasa dipungut pihak pelayaran sebesar 150 dollar AS untuk setiap peti kemas berukuran 20 feet. Padahal yang kemudian disetorkan kepada PT (Persero) Pelindo II hanya 93,10 dollar AS saja. "Tentu selisih 50 dollar AS lebih, menimbulkan pertanyaan. Apakah kelebihan itu untuk jasa perusahaan pelayaran yang menguruskan atau untuk pos lainnya," ucap Susanto.

"Oleh karena itu, kelebihan tersebut diduga akan dipergunakan perusahaan pelayaran bersangkutan sebagai 'uang pelicin' kepada sejumlah oknum yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok," tambahnya. Tentu oknum yang terkait bisa datang dari beberapa instansi yang mengurus masuk-keluarnya barang yang akan diekspor maupun yang akan diimpor. "Diantaranya yang main pungli adalah oknum Bea Cukai," jelas Susanto. Bambang Suripto, importir yang berkedudukan di Jakarta mengungkapkan, selain selisih biaya THC yang tidak pernah jelas alirannya hingga saat ini, masalah di Pelabuhan Tanjung Priok bukan hanya praktik pungli seperti itu. Tetapi, masalah biaya bongkar muat di pelabuhan itu terkesan tidak efisien. Hal tersebut bisa terlihat dari selisih biaya bongkar muat yang berlaku bila dibandingkan hasil bongkar muat yang diperoleh. Biaya bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok untuk satu peti kemas berukuran 20 feet biayanya 93,10 dollar AS. Sementara, kemampuan bongkar muat di Tanjung Priok itu hanya 18 sampai 20 peti kemas per jamnya.

Hal tersebut, menurut Bambang Suripto, memperlihatkan betapa tidak efisiennya Pelabuhan Tanjung Priok bila dibandingkan dengan pelabuhan lain, yang ada di negara Asia Tenggara.

Sekadar bahan perbandingan, di Port Klang, Malaysia, biaya bongkar muat peti kemas 20 feet 50 dollar AS. Sementara produktivitas per jamnya, bisa mencapai 56 peti kemas. Kondisi yang lebih baik terlihat pada Pelabuhan Laem Chanang, Thailand, di mana biaya bongkar muat untuk peti kemas 20 feet itu hanya 29,30 dollar AS, tetapi hasil bongkar muatnya sudah mencapai 75 peti kemas per jam.

KETIDAKEFISIENAN pekerjaan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok tampak pula ketika eksportir atau impotir ingin mengeluarkan atau memasukkan peti kemas. Mereka secara tidak langsung dipaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500.000. Uang tersebut biasanya diberikan kepada mandor bongkar muat sampai kepada pengemudi forklif. "Kalau hal tersebut tidak dilakukan, jangan kaget kalau peti kemas yang akan di keluarkan atau di masukan ke Tanjung Priok akan lama disentuh bahkan sama sekali tidak disentuh," kata Bambang Suripto.

Bahkan, tambah eksportir lainnya, Sutoyo, ketika akan mengeluarkan atau memasukkan peti kemas para eksportir atau importir, harus berurusan lagi dengan "orang-orang" Bea Cukai. "Biasanya untuk memperlancar proses keluar atau masuknya peti kemas bersangkutan eksportir atau importir harus memberikan Rp 150.000 sampai Rp 250.000 per orangnya." Oleh karena itu, Pelabuhan Tanjung Priok hanya mampu melakukan bongkar muat sebanyak 18 sampai 20 peti kemas saja per jamnya. Sementara, di Pelabuhan Port Klang, Malaysia, sudah bisa mencapai 56 peti kemas per jam. Ini bukti betapa efisiennya pelabuhan negara jiran tersebut. "Apalagi, bila dibandingkan dengan Singapura yang biaya bongkar muatnya sebesar 88,20 dollar AS untuk peti kemas berukuran 20 feet. Namun, kecepatan bongkar muatnya mencapai 82 peti kemas per jamnya," tambah Bambang. Menurut seorang pengusaha yang biasa hilir mudik di Pelabuhan Tanjung Priok, untuk setiap dokumen ekspor atau impor, ia harus memberikan 30 dollar AS kepada perusahaan pelayaran. Itu pun bila satu peti kemas hanya berisikan satu jenis barang saja. Tetapi kalau satu peti kemas itu isinya sampai sepuluh item, "Berarti untuk satu peti kemas itu saja, saya harus membayar 300 dollar AS," tambah Bambang. Suasana di lapangan tidak berbeda jauh dengan suasana di kantor. Cuma bedanya mungkin pungli-nya yang sedikit lebih kecil di kantor. Untuk mengurus satu lembar dokumen impor atau dokumen ekspor di Bea Cukai, kembali eksportir atau importir harus mengeluarkan "uang pelicin" untuk setiap meja yang harus dilalui. "Biasa untuk setiap meja itu eksportirnya harus mengeluarkan Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Kalau meja yang harus dilalui itu ada lima, ya habis Rp 100.000 untuk satu dokumen saja," ujar Bambang. Itu baru untuk satu dokumen pada hal sehari itu Bea Cukai bisa menangani puluhan sampai ratusan dokumen impor maupun dokumen ekspor. Kalau sehari ada 10 dokumen yang mereka tangani, berarti setiap oknum Bea Cukai bisa mengantongi Rp 100.000 sehari.

"Dalam satu bulan saja oknum tersebut sudah bisa mengantongi Rp 2,4 juta. Tentu jumlah itu sudah setara dengan gaji seorang pegawai di perusahaan swasta," kata Jarwo importir lainnya yang mencoba menghitung pungli yang diterima seorang oknum Bea Cukai. Angka-angka biaya ekonomi tinggi tersebut, memperlihatkan bahwa pungli mempunyai kontribusi besar sehingga Pelabuhan Tanjung Priok kurang kompetitif dibandingkan denganbeberapa pelabuhan lainnya di Asia Tenggara.

Selain itu, setiap barang yang masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok akan membuat harga barang yang diimpor meningkat sekitar sepuluh sampai lima belas persen. Ini yang harus ditanggung oleh konsumen. Anton J Supit dari Komite Pemulihan Ekonomi Nasional menyatakan, jika Indonesia ingin bisa bersaing dalam era pasar bebas, seharusnya Departemen Perhubungan membuat regulasi yang dapat memangkas habis pungli yang ada. Meski ini sulit, atau hanya utopia semata, tetapi usaha itu tetap harus dilakukan. Kalau tidak, Pelabuhan Tanjung Priok sulit menjadi pelabuhan pangkalan langsung dari dan ke Eropa di Asia Tenggara. Sulit pula mengharapkan Pelabuhan Tanjung Priok mendorong pertumbuhan ekonomi negara Indonesia. (KORANO NICOLASH LMS)


Tidak ada komentar: