Rabu, 02 Juli 2008

Rekanan kapal patroli Dephub ngaku diminta Rp1,68 miliar

JAKARTA (Pos Kota) – Kasus penangkapan anggota DPR Bulyan Royan semakin panas. Rekanan proyek pengadaan kapal Patroli mengaku dirinya diminta uang Rp1,6 miliar atau 7 persen dari nilai proyek Rp125 miliar. Bahkan rekanan yang biasa ikut tender di Dephub ikut menambahkan pimpro kerap meminta fee 20 persen dari nilai proyek.
Kalangan DPR RI minta KPK jangan hanya ruangan Dirjen Perhubungan Laut yang digeledah, tapi harus berani memeriksa Menteri Perhubungan dan pejabat ekselon I lainnya yang kemungkinan ikut menerima proyek pengadaan kapal patroli itu.
Kamarudin Simanjuntak, pengacara Dedi Suwarsono, Dirut PT Binamina Karya Perkasa (BKMP), kepada Poskota secara gamblang menuturkan kliennya memberikan uang Rp1,6 miliar dalam beberapa tahap.
Menurutnya, Dedi memberikan ke Bulyon anggota DPR Rp250 juta dalam tiga kali. Pertama menjelang lebaran Rp100 juta kedua akhir tahun 2007 Rp50 juta dan ketiga Januari 2008 Rp100 juta. Sisanya Rp 1,43 miliar dibayarkan lewat money changer di Plaza Senayan.
Sedangkan pertemuan dengan Bulyan, cerita Kamarudin, lewat dua pejabat Dephub D dan M di Hotel Crowne Jl. Gatot Subroto bulan September 2007. Ketika itu Dedi Swarsono langsung ditawari untuk ikut jadi peserta tender pengadaan kapal patroli. Saat itu hadir pula empat rekanan lainnya.
Dalam pertemuan itu disepakati pula para rekanan untuk memberikan 8 persen dari nilai proyek Rp120 miliar dengan alasan untuk Dirjen Perhubungan Laut, Direktur, pimpro dan pejabat Dephub lainnya agar. Uang itu akan digunakan untuk menggolkan anggaran proyek pengadaan kapal patroli di DPR yang sedang dibahas.
Empat bulan kemudian Mei 2008, pertemuan berikutnya dilakukan di lokasi Sauna di Ancol, Jakarta Utara, pada Mei 2008. Dalam pertemuan itu, kelima pengusaha pemenang tender masing-masing memberikan uang kepada dua pejabat Dephub Rp21 juta dan 1.500 dolar AS dan sisanya akan diberikan berdasarkan termen proyek.
MINTA TRANSFER DI MONEY CHANGER
Sebelum KPK melakukan penangkapan terhadap Buyan, cerita Kamarudin, ada pertemuan terakhir kali di salah satu ruang pejabat Dephub di Merdeka Barat dan Hotel Borobudur, Lapangan Banteng pada 24 Juni 2008. Saat itulah dibicarakan mengenai cara pembayaran komisi terakhir pada Bulyan dan pejabat Dephub.
Dedi diharuskan menstrafer Rp 1.430 miliar ke rekening money changer Tri Etra Dua Sisi di Plaza Senayan karena sebelumnya sudah memberikan Rp250 juta. Namun sialnya begitu transfer selesai dan Buyan mencairkan dengan bentuk uang 66.000 dolar AS dan 500 Euro, petugas KPK langsung menangkapnya.
PEMBAGIAN FEE PROYEK HAL YANG BIASA
Sementara itu, beberapa rekanan yang biasa ikut tender di Departemen Perhubungan khususnya Dirjen Perhubungan Laut mengaku pemberian uang fee dari nilai proyek merupakan hal yang sudah biasa mereka lakukan. Bahkan biasanya tidak 8 persen melainkan dipotong 20 persen. “Dipotong delapan persen itumah kecil, biasanya kita dipotong duapuluh persen,” ujar satu rekanan yang takut namanya ditulis.
Sebab, kalau mau dapat proyek biasanya panitia lelang minta 20 persen dari nilai proyek dan diberikan dimuka. Artinya ketika pemenang proyek sudah ditetapkan kepada salah satu perusahaan rekanan, maka saat itu juga uang kontan harus langsung disetorkan kendati proyeknya sendiri belum berjalan.
“Kalau proyeknya kecil ratusan juta rupiah biasanya kita hanya dipertemukan sama pimpro saja, kecuali miliaran, biasanya pejabat ekselon tiga dan dua yang turun langsung,” kata sumber.
Kepala pusat komunikasi (Kapuskom) Dephub Bambang Ervan tidak mau berkomentar mengenai inisial D dan M yang disebut-sebut oleh kuasa hukum dari rekanan Dephub tersebut. “Ini sudah wilayahnya KPK, biarlah KPK yang menyelidiki dan jangan kami yang justru disudutkan,” ujar Bambang Ervan.
DIDUGA MENTERI TAHU
Penangkapan anggota DPR Bulyan Royan yang diduga menerima suap hendaknya diikuti pemeriksaan terhadap para pejabat Departemen Perhubungan, kalau perlu setingkat eselon satu dan menterinya.
“Saya yakin kalau ini terkait dengan pembelian kapal patroli yang dibiayai APBN sangat mungkin menterinya tahu setidaknya setingkat Dirjen mesti tahu, karena itu wajar saja kalau diselidiki,” kata Diah Devawati Ande, anggota DPR dari FPBR yang dihubungi kemarin.
Dikatakan, kalau pihak di Departemen Perhubungan tidak diperiksa Bendahara DPP PBR ini mencurigai ada sekenario yang ingin menjatuhkan nama DPR secara kelembagaan. Karena itu untuk menghindari kecurigaan tersebut masalah ini harus diperlakukan secara imbang.
Sementara itu, para wartawan yang mendengar khabar akan dilakukan penggeledahan terhadap ruang kerja Bulyan Royan di Gedung DPR sejak pagi sudah menunggu dan kecewa karena penggeledahan batal dilakukan.
Komandan Pengamanan Dalam Gedung DPR Setyanto Priyambodo memperkirakan kemungkinan karena besok akan ada rapat dengar pendapat antara KPK dengan Komisi III DPR sehingga penggeledahan dibatalkan.
Sementara itu, juru bicara KPK Johan Budi yang dihubungi membenarkan mengenai rencana dengar pendapat dengan DPR tersebut. Rapat dengar pendapat itu akan dilaksanakan secara tertutup atas permintaan DPR.
Anggota Komisi III DPR Permadi menyayangkan bila penggeledahan yang akan dilakukan di ruang rja Bulyan Royan Gedung DPR itu batal hanya karena akan ada rapat dengar pendapat. “Itu tidak ada hubungannya, mestinya apa yang sudah direncakan tetap dilaksanakan. Karena penundaan seperti ini memungkinkan hilangnya barang bukti sehingga menyulitkan kerja yang seharusya mudah,” katanya.
Permadi juga heran bila benar rapat akan berlangsung secara tertutup. Menurutnya ini aneh dan justru akan menimbulkan pertanyaan banyak pihak. “Ini aneh, ketika ada masalah kok rapat tertutup. Masyarakat akan bertanya-tanya bila ini benar,” ujarnya.
DIRUT BKMP DIPERIKSA LAGI
Direktur PT. Bina Mina Karya Perkasa, Dedy Suharsono, tersangka kasus penyuapan kepada anggota DPR, dalam pengadaan kapal patroli kembali diperiksa KPK, Rabu (2/7).
Melanjuti penangkapan tersebut, KPK lalu menggeledah rumah Bulyan dan Dedi dilanjutkan penggeledahan di gedung Dephub. Dari penggeledahan tersebut, KPK menyita sejumlah dokumen dan data komputer namun hasilnya belum diumumkan.
Juru Bicara KPK, Johan Budi, pemeriksaan masih terus berjalan dan belum ada tersangka baru. "Yang ditangani KPK itu kan terkait dengan proses persetujuan anggaran di DPR. Jika nanti berkembang pada soal pengadaan dan pejabat ekselon 1 dan Menhub terlibat, ya akan kita tindak lanjuti. Namun, sekarang KPK fokus kepada kedua orang itu,"jelas Johan. (tisky/untung/dwi)

Tidak ada komentar: